JAKARTA – Reformasi tahun 1998 menghasilkan mandat penting, salah satunya penataan ulang peradilan militer. Mandat ini diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Regulasi tersebut diperkuat oleh Pasal 65 dalam Undang-Undang TNI, yang secara jelas mengatur yurisdiksi prajurit TNI.
Disebutkan bahwa prajurit tunduk pada Peradilan Militer apabila melakukan pelanggaran Hukum Pidana Militer.
Sebaliknya, prajurit juga ditegaskan tunduk pada Peradilan Umum jika melanggar Hukum Pidana Umum yang pengaturannya lebih lanjut ditetapkan dalam Undang-Undang. Namun hal ini sebenarnya tidak pernah terjadi di Indonesia.
Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan reformasi di Peradilan Militer sejatinya tidak pernah terwujud.
“Sampai sekarang pemerintah dan DPR tidak kunjung melakukan reformasi peradilan militer sesuai undang-undang nomor 31 tahun 1997,” kata Isnur kepada wartawan, Jumat, 12 Desember 2025.
Regulasi itu kemudian seperti ‘diakali’ dengan Pasal 74 ayat 1 di UU TNI yang menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.”
Berdasarkan pengamatan YLBHI, praktik yang terjadi di lapangan menunjukkan penyimpangan dari amanat undang-undang tersebut.
Saat ini, hampir setiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer, baik itu terkait dengan hukum pidana umum maupun hukum pidana militer, selalu disidangkan di peradilan militer.
Fakta ini menegaskan bahwa pemisahan yurisdiksi antara peradilan umum dan militer bagi prajurit TNI belum sepenuhnya terlaksana.
Situasi yang ada saat ini mencederai keadilan publik. Setelah era reformasi bertahun-tahun bergulir dengan anggota militer memiliki impunitas.
“Publik sulit meraih keadilan ketika ada tentara yang salah karena dia tetap disidangkan di peradilan militer,” kata dia
Isnur mengatakan aspek terpenting pengadilan militer adalah keterbukaan dan kejujuran. Apalagi dengan hadirnya era keterbukaan lewat digitalisasi.
“Tujuannya apa? Agar peradilan umum itu orang bisa melihat, menyaksikan bagaimana proses persidangannya, apa yang terjadi, ada jaksanya, ada hakimnya, dipantau secara terbuka, dan boleh diberitakan karena terbuka untuk umum,” jelasnya.
Isnur juga mempertanyakan komitmen pemerintah saat ini terkait negara hukum. Negara yang menghormati asas keadilan dan hak asasi manusia.
“Problemnya kan di DPR dan pemerintah karena tidak mau melaksanakan mandat UU. Kalau YLBHI dari dulu bicara terus menerus, tapi kewenangan di DPR dan pemerintah,” ujarnya.
Isnur juga menyesalkan revisi UU TNI menjadi Undang-undang nomor 3 tahun 2025 malah menyentuh hal-hal yang tidak substansial.
“Itu revisi UU TNI kemarin seharusnya membahas (peradilan militer) ini, tapi malah menambah perpanjangan usia (pensiun), masuk ke jabatan sipil, nambah Kodam, itu jadi masalah,” ujarnya.
Menanggapi adanya kecenderungan negara yang dianggap bergerak ke arah militeristik, termasuk rencana pelibatan TNI sebagai penyidik dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS), Isnur pun merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP menjadi acuan utama. Ia menekankan bahwa penyidikan dalam sistem hukum Indonesia memiliki aturan sangat jelas, dan wewenang untuk melakukan penyidikan secara umum telah diatur secara eksklusif dan terbatas di luar institusi militer.
“Itu di ada di KUHAP ya. Prinsipnya, gak boleh ada hukum acara selain KUHAP. Mudah-mudahan aman, tapi pertarungan ini tetap harus dikawal,” pungkasnya.



Tinggalkan Balasan