JAKARTA – Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai alat negara di bidang pertahanan, dikhawatirkan akan menyalahi ‘fitrah’ dan tugas utamanya jika terus berupaya memasuki ranah Aparat Penegak Hukum (APH). Kekhawatiran ini mencuat kembali seiring pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang saat ini masih dalam proses legislasi. Upaya perluasan kewenangan TNI ke fungsi penegakan hukum dinilai dapat mengaburkan batas antara pertahanan negara dan ketertiban sipil, yang secara fundamental memiliki mekanisme, prosedur, dan mandat yang berbeda.

Direktur Democratic Justice Reform (De Jure), Bhatara Ibnu Reza, dengan tegas memperingatkan bahwa memaksakan fungsi penyidik TNI dalam RUU KKS merupakan langkah keliru yang dapat menimbulkan banyak masalah bagi Indonesia. Meskipun upaya ini telah dibantah oleh beberapa pihak, termasuk Menteri Hukum Supratman Andi Atas, Bhatara tetap mewaspadai kemungkinan adanya upaya berkelanjutan dan berkembang untuk memasukkan kewenangan tersebut di masa depan.

“Apakah nantinya TNI bisa menindak? Ya jelas dong dengan ada penyidik TNI jadi aparat penegak hukum ini,” kata Bhatara kepada wartawan, Senin, 8 Desember 2025. Menurut Bhatara, kerangka kerja bagi anggota militer sudah jelas termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.

Ia merujuk pada Pasal 7 Ayat 2 UU tersebut yang telah menetapkan peta jalan yang tegas mengenai tugas pokok dan fungsi TNI. Pasal ini secara spesifik mencakup ruang lingkup siber sebagai area pertahanan negara, dan bukan sebagai domain atau kewenangan aparat penegak hukum. Dengan demikian, upaya memasukkan TNI sebagai penyidik dalam urusan siber dianggap menyalahi mandat yang sudah diatur oleh undang-undang. “Yang namanya siber itu enggak bisa TNI menjadi penyidik, makanya, siber ini konteksnya perang, bukan dalam konteks operasi selain perang,” kata dia. “Nah, ini ada (upaya) memperluas pemaknaannya itu sehingga dia bisa masuk ke UU KKS,” ujarnya lagi.

Ketahanan vs Pertahanan
Bhatara juga mencermati perbedaan signifikan antara UU TNI dan RUU KKS dalam terminologi pertahanan (defense) dengan ketahanan (resilience). Dua istilah ini berkaitan dengan fungsi militer dalam bidang pertahanan di UU TNI, sedangkan di RUU KKS melalui terminologi ketahanan. “Bedakan antara ketahanan dan pertahanan. Ketahanan itu adalah ketangguhan sebuah negara, kalau pertahanan adalah bagaimana bertahan, how to defend,” tegasnya. Bhatara juga melihat upaya mendadak institusi militer masuk ke dalam ranah penegakan hukum bakalan menjadi preseden buruk ke depan.

Ia berkaca dari peristiwa kedatangan Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) Mabes TNI, Brigjen JO Sembiring, ke Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi dan melaporkan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi pada bulan September.
“Besok-besok kalau misalnya kasus Ferry Irwandi seperti kepala siber Angkatan Darat datang ke Polda Metro Jaya karena ada unsur tindak pidana, nah besok-besok dia bisa langsung tangkap orangnya,” jelas Bhatara.

Namun persoalan tidak akan berhenti sampai di situ. Sebab, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada mekanisme komplain ketika tentara melakukan penangkapan. “Ada gak mekanisme pra peradilan terhadap TNI? Enggak ada kan. Berarti persoalannya gak bisa TNI sebagai alat pertahanan kemudian bicara soal menjadi aparat penegak hukum,” ujarnya.

Pada intinya, upaya perluasan tugas dan fungsi TNI di luar domain pertahanan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah masalah. vKondisi ini memerlukan penataan legislasi yang mendesak untuk memastikan bahwa setiap peran TNI tetap berpedoman pada konstitusi dan menghindari militerisasi domain sipil. “Intinya tugas dan fungsi TNI di luar bidang pertahanan itu problem, kan tidak ada undang-undang ketahanan negara,” jelasnya.

Soal Penyadapan
Bhatara juga mengingatkan agar Indonesia tidak seperti Myanmar yang militeristik dan memiliki dominasi mutlak. Misalnya di dalam kata penyadapan terkait pertahanan negara, maka fungsi TNI adalah melakukan penyadapan terhadap pihak luar yang membahayakan negara. Sementara aparat penegak hukum melakukan penyadapan dalam rangka mengumpulkan informasi terhadap terjadinya tindak pidana.
“Enggak bisa kalau kemudian penyadapan dilakukan oleh tentara untuk memata-matai Bhatara, misalnya. Kalau memang itu dilakukan, nah saya welcome saja ke New Orde Baru. Dan ini memang pernah terjadi dulu,” jelasnya. Terakhir, Bhatara berharap negara tetap lebih mengutamakan pendekatan dialog ketimbang memperkuat pendekatan keamanan. “Tak bisa dipungkiri penguatan politik militer sedang kita baca di masa-masa sekarang ini,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.