Jakarta – Wacana mengenai politisasi agama kembali menjadi perhatian publik menjelang momentum Reuni 212 yang setiap tahun memunculkan dinamika sosial dan politik di Indonesia. Fenomena tersebut tidak dapat dipandang sekadar sebagai ekspresi aspirasi masyarakat, tetapi juga perlu dianalisis melalui kacamata akademik untuk melihat dampaknya terhadap kohesi sosial, stabilitas politik, dan konstruksi identitas kebangsaan. Dalam konteks tersebut, pandangan ulama nasional Kyai Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq memberikan perspektif kritis yang relevan untuk dikaji secara lebih mendalam.

Agama sebagai Identitas Sosial yang Dinamis
Dalam wawancara bertema “Narasi Kebangsaan dalam Kacamata Tokoh Ulama Indonesia,” Gus Muwafiq menegaskan bahwa agama merupakan entitas sosial yang terus mengalami dinamika sesuai konteks ruang dan waktu, bukan struktur statis.

Pandangan ini selaras dengan teori sociology of religion yang menyatakan bahwa agama bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga konstruksi sosial yang merespons perubahan sejarah, budaya, dan kebutuhan masyarakat. Karenanya, interpretasi keagamaan akan selalu bergerak mengikuti perkembangan zaman.

“Semua manusia berasal dari akar yang sama. Agama hadir untuk memperhalus peradaban, bukan memecah belah kemanusiaan,” ujar Gus Muwafiq.

Dalam kerangka teori konstruksi sosial, pernyataan ini menegaskan bahwa identitas keagamaan harus ditempatkan sebagai kekuatan kohesif, bukan sebagai instrumen dominasi kelompok.

Fenomena 212 dan Politik Identitas
Gerakan sosial seperti Reuni 212, menurut Gus Muwafiq, adalah fenomena yang secara alamiah memiliki siklus relevansi. Ketika tidak lagi sesuai dengan kepentingan publik dan logika zaman, gerakan akan mengalami penyesuaian atau bahkan meredup. Secara akademik, fenomena ini dikenal sebagai collective action cycle, dimana mobilisasi massa dipengaruhi faktor konteks, kepentingan, dan mood publik.

Namun demikian, Gus Muwafiq juga mengingatkan bahwa politik identitas tetap menjadi alat strategis untuk mobilisasi politik, terutama di negara yang memiliki pluralitas keagamaan seperti Indonesia. Dalam kajian political psychology, politik identitas efektif karena bekerja melalui emosi kolektif—bukan rasionalitas. Di sinilah bahaya terbesar politisasi agama dapat muncul: lagu perjuangan digantikan oleh retorika kebencian, dan aspirasi moral berubah menjadi konflik sosial.

“Bangsa ini terlalu besar untuk dipertaruhkan demi ambisi sempit. Jangan biarkan ruang agama dicemari provokasi kepentingan,” ujarnya.

Dimensi Keamanan Nasional dan Peran Negara
Dalam perspektif studi keamanan kontemporer (human security), ancaman terhadap negara tidak lagi terbatas pada serangan fisik, tetapi juga pada destabilisasi sosial akibat polarisasi ekstrem. Karena itu, seruan Gus Muwafiq tentang peran Polri menjadi sangat relevan.

Ia menilai bahwa Polri memiliki mandat konstitusional menjaga keamanan publik secara profesional, terutama ketika potensi eskalasi sosial berpotensi mengancam keselamatan warga.

“Satu nyawa melayang dapat menciptakan gelombang ketegangan nasional. Negara wajib hadir secara terukur dan proporsional,” tegasnya.

Pernyataan tersebut mencerminkan prinsip keamanan manusia (human security principle), dimana keselamatan warga ditempatkan sebagai kepentingan tertinggi negara.

Membangun Nasionalisme Baru Berbasis Kesadaran Publik
Pada bagian akhir wawancaranya, Gus Muwafiq mengajak masyarakat untuk lebih bijaksana dalam menghadapi informasi dan lebih selektif terhadap narasi anti-pemerintah yang tidak berbasis kepentingan publik. Pesan ini sesuai dengan konsep civic nationalism, yaitu nasionalisme yang tumbuh dari kesadaran moral dan keterlibatan rasional warga negara.

“Indonesia adalah rumah bersama. Jika rumah ini rusak karena kebencian, kita semua ikut hancur,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.