Jakarta – Pengusutan kasus pembunuhan Vina Cirebon terus menggelinding. Beragam respons dan polemik bermunculan di masyarakat. R. Haidar Alwi selaku pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) mengajak masyarakat untuk ikut mengawal kinerja kepolisian mengusut kasus tersebut.
Ajakan itu disampaikan Haidar di Jakarta pada Senin (3/6). Di tengah polemik kasus Vina Cirebon itu, dia meminta masyarakat terus mengawal dan mempercayakan pengusutan Kasus Vina Cirebon kepada aparat kepolisian.
Haidar juga merespons beredarnya narasi yang cenderung mendiskreditkan Polri secara institusi. Kemudian juga cenderung mendeskriditkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara pribadi.
Dalam narasi yang beredar, kata dia, Kasus Vina Cirebon tahun 2016 dibanding-bandingkan dengan Kasus Sum Kuning Jogjakarta pada tahun 1970. “Kalau Kasus Sum Kuning pengusutannya tidak didukung oleh Presiden Soeharto. Berbeda dengan Kasus Vina Cirebon yang pengusutannya mendapatkan dukungan penuh dari Presiden Jokowi,” kata dia.
Selain itu, Haidar juga menyayangkan adanya narasi yang beredar dan menyebut Kapolri tidak mau turun tangan bahkan melakukan pembiaran dalam Kasus Vina Cirebon. Haidar mengingatkan masyarakat bahwa Kasus Vina Cirebon bukan terjadi pada masa Kapolri Listyo.
Oleh karena itu, serangan terhadap pribadi Kapolri Listyo Sigit Prabowo dia nilai salah alamat. “Justru masyarakat seharusnya berterimakasih kepada Polri karena di masa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Kasus Vina Cirebon yang belum tuntas di masa lalu kini diusut kembali dengan cepat,” jelasnya.
Misalnya dengan ada penangkapan DPO yang sudah 8 tahun bebas berkeliaran terlepas dari pembelaan Tersangka. Bahkan, narasi yang beredar juga membanding-bandingkan sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan Kapolri Jenderal Hoegeng.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo disebut tidak bernyali mengusut Kasus Vina Cirebon. Sedangkan Kapolri Jenderal Hoegeng dinilai rela mempertaruhkan jabatannya demi pengusutan Kasus Sum Kuning.
Haidar menegaskan, Jenderal Hoegeng kehilangan jabatannya bukan semata-mata karena Kasus Sum Kuning. Melainkan karena ketidakharmonisan hubungan antara Hoegeng dengan Soeharto, jauh sebelum Hoegeng menjadi Kapolri dan Soeharto menjadi Presiden.
Menurut dia, ada pertentangan antara prinsip ketegasan dan kejujuran Hoegeng dengan Soeharto dalam kasus penyelundupan tekstil dan kasus penyelundupan mobil mewah. Pertentangan prinsip itu melahirkan ketidakharmonisan yang berimbas pada penanganan Kasus Sum Kuning yang dioper ke lembaga lain. Akhirnya, Kapolri Jenderal Hoegeng kehilangan jabatannya dan ketidakharmonisan itu berlanjut bahkan setelah Jenderal Hoegeng tidak lagi menjabat sebagai Kapolri.
Tinggalkan Balasan