Jakarta – Diskusi bertajuk “Catatan 26 Tahun Gerakan Reformasi, Antara Kenyataan dan Harapan” diselenggarakan di Jl. Diponegoro No.72, Jakarta Pusat. Diskusi ini diselenggarakan 22 Mei 2024 dan merupakan bagian dari peringatan 26 tahun Reformasi yang dihadiri oleh para aktivis 1998, akademisi, dan masyarakat sipil. Acara ini mengundang perhatian banyak pihak karena berfokus pada evaluasi perjalanan Indonesia sejak Reformasi 1998 hingga sekarang, serta membahas berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini.
Tahun 1998 adalah titik balik bagi Indonesia ketika gerakan Reformasi berhasil menggulingkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Gerakan ini membawa harapan besar akan perubahan mendasar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, setelah 26 tahun berlalu, banyak harapan tersebut belum terwujud sepenuhnya.
Dalam kesempatan pertama, Sejarawan Indonesia Bonnie Triana memaparkan perspektif historis mengenai peristiwa Reformasi 1998 kilas balik historis dan refleksi ini menimbulkan pertanyaan kenapa bangsa ini mudah lupa, walau lupa merupakan hal manusiawi.
“Kita tidak pernah secara serius dan memperbaiki masa lalu sesuai dengan rekaman sejarah, bahkan setelah 26 tahun terjadinya reformasi, cita-cita reformasi bergerak makin jauh maka ia menekankan pentingnya mengingat sejarah kelam tersebut sebagai pelajaran agar tidak terulang di masa depan. Hingga walaupun kita melihat masa depan Indonesia dengan optimisme, namun tetap kritis terhadap berbagai tantangan yang ada.” ungkapnya.
Lebih lanjut, membahas mengenai Kondisi Toleransi, Keberagaman, dan Etika Bernegara Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo menyatakan bahwa kondisi toleransi dan keberagaman di Indonesia yang semakin terancam. Ia mencatat bahwa etika bernegara telah mengalami kemerosotan yang signifikan, ditandai dengan maraknya intoleransi dan diskriminasi.
“Peraturan(peraturan yang mengakomodir kepentingan beribadah sebenarnya sudah ada, namun pelaksanaan masih jauh panggang dari api.” tegas Benny.
Ia mengungkap ada beberapa tanggung jawab dari pemerintah terutama pemerintah daerah tidak terlaksana. Nilai-nilai kebudayaan Indonesia sejak dahulu hidup dan terpelihara di Indonesia seolah olah diabaikan. Setelah reformasi, keadaan ini justru malah mundur dengan memajukan politik identitas dan kalah terhadap tekanan publik mayoritas.
“Negara tidak boleh hanya sekedar bergerak normatif dan kompromistis berdasarkan dikotomi minoritas mayoritas. Namun harus juga mengakomodir semua pihak dan tanpa pandang bulu menengakan hukum.” kata dia.
Dan karena hal tersebut Benny mengajak semua elemen masyarakat untuk melakukan moderasi beragama, keberanian kepala daerah menjadi negarawan yang merangkul semua warga negara tanpa pandang bulu dan tidak terjebak pada dominasi politik dan dikotomi minoritas mayoritas dan kembali kepada konstitusi dasar bahwa pada hakikatnya Negara melindungi segenap bangsa indonesia untuk beribadah.
Pada akhirnya Benny memandang perlunya seluruh lapisan masyarakat untuk kembali menghidupkan nilai-nilai Pancasila sebagai filosodi grondslag dimana Pancasila sebagai landasan moral dan rasa dalam upaya membangun kehidupan berbangsa yang lebih toleran dan harmonis.
Acara yang juga dihadiri Saurlin P Siagian dari Komnas HAM dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Padjajaran Professor Muradi ini berkesimpulan bahwa Refleksi 26 tahun Reformasi membawa kita pada kesadaran bahwa meskipun banyak tantangan yang dihadapi, harapan untuk perubahan tetap ada.
Gerakan Reformasi telah membuka jalan menuju demokrasi, tetapi perjalanan menuju cita-cita bangsa yang lebih baik masih panjang dan penuh rintangan.
Para aktivis, akademisi, dan masyarakat sipil harus terus mengawal proses ini, memastikan bahwa setiap langkah menuju perubahan diambil dengan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap nilai-nilai Pancasila. Melalui kerja sama dan semangat yang tidak pernah padam, kita dapat mewujudkan Indonesia yang lebih baik, sesuai dengan harapan dan cita-cita para pejuang Reformasi 1998.
Pada akhirnya acara peringatan ini diharapkan bukan hanya menjadi ajang refleksi, tetapi juga menjadi panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk terus berjuang, memperbaiki, dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan berdaya saing di kancah global. Semangat Reformasi harus terus menyala, menjadi sumber inspirasi dan motivasi dalam setiap upaya membangun bangsa.
Tinggalkan Balasan