Jakarta – Revisi Undang-Undang Penyiaran yang mengandung pasal yang membatasi jurnalisme investigatif merupakan pengabaian terhadap prinsip demokrasi. Kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi, dan menghalangi jurnalisme investigatif sama dengan membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Oleh karena itu, Dewan Pers dan berbagai komunitas pers menolak RUU ini dan mendesak DPR untuk mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang dapat merugikan kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.

Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 50B, yang melarang penayangan liputan jurnalistik investigasi. Berikut bunyi selengkapnya Pasal 50B huruf c yang menyatakan pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Pernyataan yang disampaikan dari Anggota Legislatif TB Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR, menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya pelarangan tersebut. Ia menegaskan bahwa kontrol terhadap konten media sebaiknya diserahkan kepada masyarakat.

“Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar baik positif dan negatifnya dari hasil investigasi,” kata Hasanuddin di Gedung DPR RI, Jakarta.

Anggota Komisi I DPR lainnya mengakui bahwa terdapat pro dan kontra terhadap RUU tersebut, dan finalisasinya akan didiskusikan di tingkat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.dengan tegas menolak draft RUU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR. RUU ini dinilai mencoreng karya jurnalistik karena membatasi kebebasan media dalam menyiarkan berita investigatif, yang merupakan elemen krusial dalam menjalankan fungsi kontrol sosial media.

Selain itu penolakan juga terjadi dari pihak Dewan Pers dan seluruh komunitas pers juga yang dengan tegas menolak isi draf RUU Penyiaran. Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu, menyatakan bahwa RUU ini akan mengancam independensi pers dan menjadikan pers tidak profesional.

“Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan kenapa UU Pers No. 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” ujar Ninik dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers.

Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo, menyatakan kekhawatirannya terhadap pasal dalam RUU Penyiaran yang berpotensi membungkam jurnalisme investigatif tersebut. Menurutnya, hal ini mengancam kehidupan demokrasi karena sesungguhnya kebebasan berpendapat dan mengeluarkan informasi dijamin oleh undang-undang dasar. Mengutip Krismanto, Benny menyatakan bahwa Investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang dan kemudian orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil.

Berdasarkan hal tersebut media memiliki fungsi kritis untuk mengungkapkan fakta yang tersembunyi, yang kerap kali ditutupi demi melestarikan kekuasan kolutif.

“Oleh karena itu media yang melakukan investigasi memiliki peran serta tanggung jawab moral untuk menjaga eksistensi kebebasan dan mencari kebenaran dalam masyarakat . Pasal yang mengintervensi berlebihan serta membatasi ruang gerak media dalam menjalankan fungsi kritisnya harus direvisi demi menjaga peranan Media dalam menjaga demokrasi serta membangun keadaban demokrasi pancasila maka eksistensi membuat media.” ungkapnya.

Lebih lanjut Benny menyatakan bahwa kita dulu memiliki Muchtar Lubis sebagai wartawan jurnalisme investigasi yang mampu mengungkap kasus-kasus yang seringkali tidak dapat dibuka oleh para penegak hukum dan menjamin hak bagi masyarakat untuk memperoleh informasi.

“Ketika media dilarang melakukan investigasi mendalam untuk informasi yang merupakan hak publik sesungguhnya itu merupakan pengkhianatan terhadap demokras. Karena demokrasi yang sehat hanya dapat dibangun dengan menjaga nalar demokrasi yang hanya dapat terjadi ketika eksistensi media massa benar-benar terjaga dan tidak dibatasi.” ujar Benny.

Pakar Komunikasi Politik ini menutup pernyataannya dengan menyatakan bahwa alih-alih membatasi jurnalisme investigasi.

“Seharusnya revisi Undang-undang Penyiaran no 32 tahun 2002 bisa menjadi sarana bagi media untuk mengungkapkan kebenaran dibalik fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat.” pungkasnya

Temukan juga kami di Google News.