Solo – Pemilu Tahun 2024 akan menjadi pesta demokrasi terbesar bagi rakyat Indonesia. Selain memilih pemimpin di tingkat nasional, rakyat yang memiliki hak pilih juga menentukan pemimpin di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.
Pemilu merupakan instrumen utama demokrasi yang memainkan peran sebagai alat sirkulasi elit dan kepemimpinan, sekaligus medium aktualisasi hak dan kewajiban politik seluruh warga negara. Dalam gerak laju pelaksanaan Pemilu, apa yang menjadi prinsip universal demokrasi menemukan momentum aktualisasinya, daulat rakyat, hak asasi manusia, kebebasan sipil serta musyawarah mufakat. Dengan terselenggaranya pesta demokrasi melalui pemilu yang dapat memilih pemimpin yang tepat, diharapkan kemajuan bangsa dan negara Indonesia yang dibuktikan dengan tercapainya Indonesia Emas.
Karena hal tersebutlah dalam rangka pertemuan sinodal 3 Gereja Utusan Pantekosta di Indonesia diadakan sesi diskusi publik dengan tema wawasan politik menjelang pemilu 2024 dalam menyikapi pilpres, pileg dan pilkada. Dengan harapan, para kepala gereja dan pendeta dapat memimpin jemaat agar memilih dengan hati nurani. Para pemilih khususnya para pemilih pemula dapat menggunakan haknya dengan cerdas, tepat dan efektif sekaligus dapat menciptakan suasana pesta demokrasi yang aman dan nyaman bagi seluruh masyarakat.
Dalam acara yang diselenggarakan pada 24 Januari 2024 di Solo ini, Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo yang hadir sebagai pembicara menyatakan bahwa kita harus sadar Pemilu sebagai sarana demokrasi yang ideal dan benar-benar adil adalah suatu hal yang utopis.
“Di lapangan kita menghadapi kenyataan bahwa ongkos pemilu yang mahal menjadikan hal yang seharusnya menjadi perayaan dan penghormatan terhadap demokrasi ini menjadi hal yang penuh intrik,bdinamika dan transaksi.” ungkapnya.
“Pada akhirnya kita harus kembali pada pandangan Romo Magnis tentang Minus Mallum atau Lesser Evil yang menyatakan bahwa kita harus memilih mereka yang dosanya paling sedikit dan karenanya sebelum pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 tersebut, kita sudah harus mulai bisa memperhatikan para calon pemimpin dengan melihat rekam jejak, kestabilan psikologis dan kemampuan mereka dalam berdiri bersama rakyat dan pemilih.” sambungnya.
Menurut Benny, kita harus bisa melihat pemimpin mana yang memiliki keutamaan yaitu mereka yang memiliki kematangan emosi, kearifan dan kebijaksanaan. Termasuk menghormati keberagaman, hak asasi manusia dan peduli pada mereka yang terpinggirkan.
“Kita harus menyadari dalam era digital ini sifat buruk bangsa Indonesia benar-benar tergali, kita tak sadar menjadi pribadi yang melodramatis. Mudah terjebak pada romantisme dan masa keemasan masa lalu serta menjadi mereka yang bersumbu pendek.” jelasnya.
Benny menjelaskan bahwa mereka yang disebut tadi nantinya menjadi komunitas pengiya kata yang membagikan hal dan Informasi tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Dan karenanya diharapkan setiap peserta Seminar kebangsaan dapat selalu menjadi agen perubahan, agen demokrasi dan agen pengedukasi dalam upaya penjaga pemilu yang berkualitas.
Lebih lanjut Doktor Komunikasi Politik itu menyatakan bahwa para pemilih potensial adalah generasi Z.
“Kita harus bisa mengajak dan membawa mereka untuk dapat memilih secara rasional dan tidak terjebak memilih atas dasar afeksi, pengkultusan figur tertentu, politik Identitas dan romantisme masa lalu yang digunakan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk meraih kekuasaan.” tegasnya.
Menurut Benny, penting untuk membuat masyarakat khususnya para gen Z sadar bahwa martabat tidak bisa direduksi dengan uang dan identitas. Dan menjadi bermartabat, dalam arti mereka benar-benar bisa memilih atas dasar pikiran sehat dan terhormat.
“Mereka harus memilih berdasarkan kenyataan bahwa demokrasi tidak memberi jaminan kesejahteraan namun memberi jaminan mengenai kemanusiaan, kehormatan dan kesempatan.” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Benny juga menyatakan bahwa sebagai agen perubahan kiranya para peserta diskusi Ini dapat memberikan contoh dan edukasi politik kepada masyarakat di sekitarnya. Para peserta seminar dapat memberikan informasi kepada masyarakat bagaimana cara memilih Pemimpin misalnya dengan metode analisa kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) pada setiap calon-calon pemimpin yang akan dipilih hingga benar-benar didapatkan pemimpin yang benar benar efektif dan mampu bekerja sesuai ekspektasi masyarakat.
Staff Khusus dari Badan yang dikepalai Profesor Yudian Wahyudi Ini mengakhiri paparannya dengan menyatakan bahwa “Pada akhirmya berkualitas atau tidaknya suatu pemilihan umum tergantung kepada masyarakatnya, jika masyarakat berkualitas maka hasil Pemilu akan berkualitas. Bonus demografi Indonesia cukup berpotensi, jika kita bisa menjaga pemilu dan pemerintahan damai maka dalam 10-15 tahun lagi kita bisa menjadi negara maju dan karenanya kita tidak boleh menjadi reaktif dan pesimis.”
“Pemilu adalah panggilan kita semua untuk melaksanakan tugas mulia mencapai cita-cita kemerdekaan, walau upaya tersebut tidak dapat diraih dengan singkat namun kita harus jaga agar tetap berlangsung dengan damai dan berkualitas.” ujarnya dalam acara yang dihadiri oleh 100 orang yang terdiri dari para pendeta dan kepala gereja dari Gereja Utusan Pantekosta di seluruh Indonesia.
Tinggalkan Balasan