Jakarta – Ratusan mahasiswa menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Menakar Relevansi dan Risiko RUU Perampasan Aset: Reformasi Hukum vs Konflik Kepentingan di Indonesia’ di Gedung UGM Samator Pendidikan, Jakarta Selatan, Senin (20/10/2025).

Narasumber utama, Yenti Garnasih menerangkan, RUU Perampasan Aset merupakan langkah penting dalam rangka memperkuat kerangka hukum pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil kejahatan.

“Asset Recovery Act merupakan instrumen penting untuk mengoptimalkan pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya korupsi. Penerapan UU TPPU secara paralel dengan UU Tipikor mampu memperkuat upaya pemulihan aset negara. Karena itu, RUU Perampasan Aset perlu segera disahkan sebagai lex specialis dalam penanganan aset hasil kejahatan,” kata Yenti, di Jakarta, Selasa (21/10/2025).

Kemudian Yenti mengatakan, kunci keberhasilan pelaksanaan asset recovery di Indonesia perlu kerja sama internasional dan sinergi antar-lembaga penegak hukum.

Dalam kesempatan yang sama, Narasumber Keua, Sahdabudin Letsoin, menekankan pengesahan RUU Perampasan Aset harus disertai penguatan prinsip transparansi dan perlindungan hak konstitusional warga negara.

“Penyusunan kebijakan publik harus berbasis bukti dan riset akademik agar lebih objektif dan tepat sasaran,” ucap Sahdabudin.

Sementara itu dalam hal ini, lembaga pengawasan independen diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan perampasan aset, sekaligus membuka ruang bagi mahasiswa untuk terlibat aktif dalam analisis kebijakan publik.

“Kerja sama internasional dalam pelacakan dan pengembalian aset hasil kejahatan juga perlu diperkuat sesuai ketentuan UNCAC 2003,” tutur Sahdabudin.

Narasumber ketiga, Sachril Hidayat menyebutkan agar penerapan RUU Perampasan Aset tidak mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Menurutnya, RUU ini perlu disahkan dengan prinsip kehati-hatian, memastikan keseimbangan antara efektivitas pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM.

Sachril juga menilai pentingnya mekanisme transparansi dan hak banding bagi pihak yang terdampak kebijakan, serta pembentukan lembaga independen pengelola aset hasil perampasan.

“Kolaborasi antar lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, PPATK, dan Kepolisian harus diperkuat agar pelaksanaan RUU ini profesional dan akuntabel,” tegas Sachril.

Kemudian, Kepala Biro Kemahasiswaan Universitas Trilogi, Rossi Iskandar menyampaikan bahwa peran mahasiswa sangat penting dalam mengawal proses reformasi hukum agar tetap berpihak pada kepentingan publik.

“Kehadiran kita di sini adalah wujud nyata dari tanggung jawab moral intelektual untuk mengawal reformasi hukum, khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi yang efektif,” ucap Rossi.

“RUU Perampasan Aset bukan sekadar regulasi baru, melainkan instrumen vital untuk mengembalikan kerugian negara. Namun, implementasinya harus dikawal agar tidak menjadi alat politik atau sarana penyalahgunaan kekuasaan,” sambungnya.

Dengan digelarnya kegiatan ini, Rossi berharap dapat menghasilkan gagasan solutif dan kritis dari kalangan mahasiswa untuk memperkuat penegakan hukum dan mendorong lahirnya kebijakan yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan bangsa.

Untuk diketahui, kegiatan ini diinisiasi oleh BEM KM Universitas Trilogi dan diikuti oleh BEM Universitas Yarsi, Institut Bisnis dan Informatika (IBS), Universitas Esa Unggul, Institut STIAMI, Universitas Paramadina, dan STIH IBLAM.

FGD ini bertujuan menjadi ruang bagi mahasiswa untuk berkontribusi dalam memperkuat sistem hukum nasional yang berkeadilan dan berintegritas.

Temukan juga kami di Google News.