Jakarta – Aksi penolakan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia minimum Capres-Cawapres mendapat respon dari kalangan mahasiswa. Penolakan tersebut datang dari mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Mpu Tantular.
Aksi penolakan dilakukan para mahasiswa dengan memasang spanduk bertuliskan “Mahasiswa UKI dan Mpu Tantular Menolak Politik Dinasti” di sepanjang Jalan Cawang arah MT Haryono. Selain itu, spanduk juga dipasang di sekitaran Kampus Mpu Tantular.
Salah satu pengurus BEM Mpu Tantular Habibi mengatakan mahasiswa sebenarnya tidak menolak anak muda jadi kontestan Pilpres.
“Artinya dalam proses demokrasi ini semua memiliki kebebasan dan semua memiliki kesetaraan, kesamaan hak, baik untuk memilih maupun dipilih. Tapi tentu saja di situ dibutuhkan aturan-aturan main, dan semua harus menghargai aturan,” terangnya.
Dijelaskan, pemilu atau pilkada itu hanya satu poin dari demokrasi karena ada juga banyak poin lainnya. Pemilu berbicara bagaimana rakyat bisa terlibat langsung, bagaimana rakyat bisa memilih langsung.
“Setiap negara memiliki kekhasan dari proses pemilu masing-masing. Negara-negara sosialis juga mengatakan mereka ada sistem pemilu. Negara-negara liberal pun punya sistem pemilunya sendiri,” ujarnya.
Menurut Habibi, pemilu di Indonesia basisnya kultural. Artinya mengakomodir budaya-budaya yang ada di setiap daerah. Ini yang sudah berlangsung beberapa kali dalam pemilu di Indonesia.
“Satu hal yang tidak bisa dipisahkan di Indonesia, adanya budaya paternalistik, kemudian ada juga sistem budaya kerajaan-kerajaan, sistem pemilihan atau pergantian pemimpin dengan sistem keturunan, sistem dinasti. Ini juga bagian dari yang tekadang sulit untuk dilepaskan di Indonesia,” paparnya.
Habibi menegaskan, realitas politik dinasti tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara lain pun itu juga tersaji.
“Di Malaysia mantan Perdana Menteri Najib Razak, anaknya Tun Abdul Razak. Kemudian Benazir Bhutto adalah anak sulung dari Perdana Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto. Amerika juga ada dinastinya Kennedy, George Bush Senior dan Junior, Filipina juga, dan banyak di negara lain,” tuturnya.
“Artinya implementasi seperti ini terjadi di banyak tempat, di banyak wilayah, bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara-negara lain. Yang menjadi penting, ada beberapa perhatian. Misalnya, hal yang perlu kita pikirkan apakah wilayah politik dinasti ini sesuai dengan aturan yang ada. Walaupun spiritnya awal-awal dibuat jangan ada politik dinasti dan aturan yang berikut dicabut. Yang penting aturan mainnya sudah dibuat. Selama tidak melanggar aturan, itu buat saya sesuatu yang masih dalam proses yang wajar,” sebut Habibi.
Hal kedua menurutnya, berbicara tentang demokrasi, apalagi pemilu yang modelnya rakyat memilih langsung, demokrasi erat kaitannya dengan rekam jejak dari si kandidat dan rakyat yang akan memilih kandidiat itu.
“Bagaimana rekam jejak si kandidat, apakah selama ini dia sudah punya achievement-achievement (pencapaian) yang memberikan nilai-nilai positif. Terlepas dia anak si A atau istri si B, atau keponakan si C, tapi apakah kandidat itu punya achievement dan rekam jejak yang baik di masyarakat. Karena dalam pemilu, rakyat yang memilih dan rakyat bisa menilai, bisa mengidentifikasi dengan baik. Rakyat juga punya wawasan, mereka bisa melihat kandidat itu seperti apa,” jelasnya.
Hal ketiga menurut Habibi, yang penting tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dari orang atau yang dikaitkan dengan keluarga yang punya kekuasaan lebih tinggi.
“Misalnya yang menjadi presiden, gubernur, bupati atau wali kota, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dari mereka yang anaknya, istrinya, keluarganya sedang dicalonkan,” tandasnya.
Hal terakhir menurut Habibi, yang harus dipikirkan adalah peranan dari partai politik.
“Ketika parpol memilih kader-kader ini, kandidat-kandidat ini, mereka kan sudah punya screening yang harusnya tentu memperhatikan prinsip-prinsip setiap partai punya basisnya,” terangnya.
Bagi Habibi, lima hal yang ia sampaikan perlu untuk dilihat terkait politik dinasti dalam pemilu saat ini. “Jadi teman-teman mahasiswa UKI dan Mpu Tantular tidak perlu mengajak mahasiswa lain untuk bergerak dengan membawa bawa atau mengatasnamakan demi menyelamatkan demokrasi”, tutupnya.
Tinggalkan Balasan