Oleh: Abdul Ghopur

Sejarah hari pahlawan
Kredo yang menyatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya adalah sepenuhnya benar. Sebab mereka telah berkorban harta-benda bahkan nyawa, jiwa-raga, darah dan air mata. Sudah sepatutnya kita harus menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang bahkan gugur di medan perang. Sebab, kalau tak ada pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan, kita juga sudah pasti tak ada. Demikian pula dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) 21-22 Oktober 1945, jika tak ada fatwa jihad ini, tentu tak akan ada perang 10 November 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih bangsa Indonesia.

Syahdan, peristiwa 10 November tidak bisa dipisahkan dari peran besar para ulama-ulama NU. Terutama sosok Hadratussyeikh KH. M. Hasyim Asy’ari (kakeknya Gus Dur) yang mencetuskan fatwa Resolusi Jihad NU yang menggerakkan warga dan juga kalangan santri untuk menghantam pasukan sekutu di Surabaya yang ingin menjajah kembali. Tujuh puluh tujuh (77) tahun telah berlalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar NU, Hadratus as-Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, dideklarasikanlah perang mempertahankan kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad fii sabilillah. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad NU (isi dari resolusi/fatwa jihad ini dapat dilihat di artikel saya di beberapa media online yang terbit 21 Oktober 2022, antara lain tribunrakyat.com).

Resolusi Jihad mewajibkan tiap-tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama laki-laki dewasa, yang berada dalam radius 94 km dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan menqoshor sholat). Di luar radius itu umat Islam yang lain wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam yang lain wajib memanggul senjata menggantikan mereka.

Resolusi Jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan saja disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November, yaitu salah satu perang terbesar sepanjang sejarah republik ini berdiri. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.

Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi yang siap gugur sebagai syuhada (mati syahid). Meski darah para pahlawan berceceran begitu mudahnya dan memerahi sepanjang kota Surabaya selama tiga minggu, Inggris sang pemenang Perang Dunia II itu akhirnya kalah.

Seruan Resolusi Jihad NU ini memiliki sumbangan besar atas pecahnya Peristiwa 10 November 1945 yang terkenal dan kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan, ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Tidak terbatas pada Peristiwa 10 November 1945, seruan ini berdampak panjang pada masa berikutnya. Perjuangan kemerdekaan yang melibatkan massa rakyat yang berlangsung hampir empat tahun sesudah itu di berbagai tempat di Jawa khususnya hingga pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949 juga banyak didorong oleh semangat jihad yang diserukan melalui resolusi ini. Pada akhirnya, Resolusi Jihad NU tak lain merupakan bakti dan bukti historis komitmen NU untuk membela dan mempertahankan Tanah Air yang merupakan bagian dari keimanan (hubbul wathon minal iman).

Loncatan Transformasi di era disrupsi
Pertanyaan kemudian, apa yang bisa kita lakukan sebagai bangsa utamanya generasi muda penurus dan pelurus sejarah perjuangan bangsa di era sekarang (zaman now)? Bagaimana semangat juang para pahlawan agar mengilhami dan mengispirasi kita yang hidup di zaman sekarang untuk berjuang mengisi kemerdekaan dan membangun bangsa? Terutama di era 4.0 (menuju 5.0) dan disrupsi serta ancaman bahkan ekses resesi global yang tak menentu ini, dimana perubahan-perubahan sistem dan tatanan kehidupan masyarakat berubah skala luas, di pelbagai lini. Sebut saja perubahan sistem keuangan dan perbankan, tren moda transportasi, tren cara pembayaran digital/online, fitur tarik tunai di segala tempat, transaksi jual beli dapat terjadi dimana saja, kapan saja, tanpa batasan ruang dan waktu, dan lain-lain yang semuanya sudah berubah drastis (loncatan tranformasi).

Ancaman hantu resesi global (dalam kilasan)
Di saat bersamaan, prediksi yang menyatakan secara aforisme Indonesia bakal terkena ekses atau dampak resesi global akibat efek perlambatan ekonomi dunia akibat pemulihan pasca pandemi, pengetatan likuiditas, kenaikan (suku) bunga acuan ekstrim oleh bank sentral di sejumlah negara Eropa seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk meredam inflasi, serta ditambah kondisi geopolitik–perang Rusia VS Ukraina, agaknya perlu diwaspadai (meski tak harus panik). Meski pun berulang-kali Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Asian Development Bank (ADB) menyatakan akan bahaya resesi di tahun 2023 (sekali lagi tak perlu panik). Prediksi itu mereka dapat dari indikasi oleh naiknya suku bunga acuan di Inggris yang tercatat sebesar 2,25 atau naik 200 basis points (bps) dan AS telah mencapai 3,25 setelah sebelumnya naik 300 bps (diperkirakan AS kembali akan menaikkan sebesar 75 bps lagi, termasuk Eropa sebesar 125 bps). Ini diakui sebagai kenaikan esktrim selama ini yang sebelumnya Eropa sangat rendah dari sisi policy rate-nya. Kemudian, pada kuartal II-2022 pertumbuhan ekonomi China, AS, Jerman dan Inggris juga sudah mengalami koreksi. Kemungkinan akan berlanjut pada kuartal III dan sampai akhir tahun, sehingga prediksi pertumbuhan tahun ini dan tahun depan akan mulai masuk resesi. Ini baru prediski atau ramalan.

Hukum kausalitas
Lalu bagaimana prediksi atau ramalan ekonomi Indonesia tahun depan? Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,3% tahun ini dan diperkirakan 5% di 2023 (justru pengalami penurunan) yang diperkirakan IMF, apakah Indonesia patut bernafas lega? Resiko efek samping resesi terhadap Indonesia mungkin tetap ada yang disebabkan oleh kenaikan cost of fund dan potensi default di banyak negara yang sudah memiliki rasio utang sangat tinggi. Beberapa data menunjukkan fakta terbalik atas prospek ekonomi Indonesia yang dewasa ini cukup bergantung pada lonjakan tinggi harga komoditas utama, seperti batu bara, bahan bakar minyak (bbm), minyak kelapa sawit, timah, nikel, gas alam, dan sumber daya alam lainnya (meski pun Indonesia berlimpah). Melonjaknya harga komoditas yang tinggi inilah kemudian menyebabkan inflasi melonjak. Namun dengan menurunnya permintaan (demand) dunia akibat ketidakpastian global, siapa yang mampu beli? Akibat lemahnya demand dari supplay yang ditawarkan, maka yang terjadi adalah penurunan permintaan.

Pedang bermata dua
Kembali pada peluang dan ancaman di atas, di satu sisi era disrupsi ini dapat menggairahkan dan menciptakan peluang-peluang baru, namun di sisi lain bisa juga menjadi ancaman yang mengubah kreasi, pola atau alur kompetisi yang sudah tercipta sebelumnya. Misal, jika sebelumnya transaksi pembayaran dilakukan secara tunai (manual), kini tranksasi pembayaran diubah melalui digitalisasi, contohnya transaksi pembayaran di mall-mall, retail, supermarket dan tempat parkir. Dengan pola yang sudah berubah, maka jasa layanan security parking misalnya, sudah tidak diperlukan lagi. Dampaknya adalah pemutusan hubungan (tenaga) kerja dengan dalih efisiensi dan efektifitas. Contoh lainnya, jika dahulu perusahaan pembuat alat elektronik (portrait) seperti Kodak, Konica, Fujifilm dan sebagainya begitu berjaya di masanya, kini alat itu tergantikan dengan smartphone yang lebih simpel dan maju. Begitu pula di bidang pertanian, jika dulu para petani menyemprotkan disinfektan (pestisida) untuk memberantas dan mengendalikan segala jenis hama secara manual, kini penyemprotan cukup dilakukan dengan pesawat drone.

Kemajuan-kemajuan dan kemudahan-kemudahan di era disrupsi ini kiranya patut disyukuri sekaligus patut diwaspadai secara cermat dan bijak. Meski membawa berbagai kemudahan dan kemanfaatan, tapi persaingan bisnis menjadi semakin ketat dan sulit (bisa sangat kejam). Sebab, perubahan atas dalih modernitas atau apa pun sudah barang pasti akan berdampak (baik dan buruk) pada pelbagai lini atau sektor kehidupan. Karena tidak semua masyarakat dapat merespon dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan di era disrupsi yang diiringi percepatan tekhnologi (IT) ini, dengan berbagai faktor dan kendalanya masing-masing.

Kesetimbangan peran antar pasar, negara dan sipil
Kegagapan (jika tak ingin mengatakan ketakberdayaan) masyarakat dalam beradaptasi dan merespon perubahan-perubahan (tak terkendali) akibat loncatan transformasi ini menurut Marx merupakan kegagalan kita memaknai realitas dunia (nyata/materil) yang sebenranya dengan dunia yang ideal. Dunia yang sebenarnya, tidak dapat dijadikan kesimpulan dari suatu studi yang ideal; tetapi sebaliknya, dunia yang ideallah yang harus dilihat sebagai suatu hasil sejarah tentang yang sebenarnya (real). Hegel sebaliknya, memandang masyarakat sipil (bűrgerlich geselschaft) yang meliputi semua hubungan ekonomi dan keluarga, yang berada di luar struktur yuridis dan politik negara, pada intinya merupakan lingkungan egoism tanpa batas, dimana setiap orang saling beradu kekuatan dengan sesamanya. Masih menurut Hegel, manusia adalah makhluk berakal dan tertib karena sampai tingkat tertentu mereka menerima tata-tertib yang terdapat dalam negara, yang merupakan suatu ruang lingkup universal yang memotong kepentingan egoistik dari kegiatan-kegiatan manusia di dalam masyarakat sosial dunia.

Dalam hal ini penulis ingin mengatakan: “di era disrupsi ini yang harus dikedepankan adalah kesetimbangan peran antar pasar (market), negara (state) dan masyarakat sipil (civil society) dalam rangka menghindari kekacauan sosial. Apa sebab? Sebab, jika yang dominan adalah pasar di atas negara dan sipil, maka yang terjadi adalah kapitalisme-liberalisme. Jika yang dominan adalah negara di atas pasar dan sipil, maka yang terjadi adalah otoritarianisme. Sebaliknya, jika yang dominan adalah sipil di atas yang lain, maka yang terjadi adalah anarkisme.” Dengan demikian, relasi atau kesetimbangan peran diantara triangle ini, mutlak adanya. Syahdan, di dalam polis di Yunani (negara-kota zaman Yunani kuno), setiap orang –yaitu setiap warga merdeka –adalah zoon politikon.

Sinergitas dan kepeloporan pemuda
Di era disrupsi inilah justru nilai-nilai kepeloporan dan semangat kepahlawanan pemuda tidak boleh mati. Sebaliknya, harus kita gelorakan untuk saling membantu, bahu-membahu dengan saling bersinergi satu sama-lain. Dengan saling meningkatkan kapasitas dan kapabilitas SDM, serta transfer pengetahuan dan informasi agar kita sama-sama dapat berinovasi dan bertransformasi ke arah digitalisasi (ekonomi kerakyatan) yang ramah lingkungan dan tetap mengedepankan humanisme, agar kita sejahtera bareng-bareng.

Jangan sampai ketidakmampuan (ketidakberdayaan) sebagian besar masyarakat dalam merespon, beradaptasi dan memanfaatkan kemajuan zaman karena tidak ada sinergitas antar–segelintir masyarakat yang mampu dan memiliki akses dengan sebagian besar masyarakat yang teraleniasi, menyebabkan frustasi dan kecemburuan sosial akibat bingung (limbo) tak tahu harus menentukan arah kemana, akibat ketidakpastian global tadi? Yang ujung-ujungnya adalah keos sosial dengan berbagai dalih. Apalagi pada tahun 2024 bangsa ini akan menghelat pesta akbar demokrasi, pemilihan umum (Pilpres) yang tentunya akan banyak menguras energi bangsa ini. Dengan heterogenitas (kemajemukan) dalam pelbagai bidang yang begitu banyak, tentu rawan (riskan) dipolitisir untuk di-adu-domba oleh kekuatan tertentu (dalam dan luar negeri) yang tak rela Indonesia damai dan maju. Di sinilah sekali lagi, nilai-nilai kepeloporan, kejuangan dan kepahlawanan generasi muda dibutuhkan sekaligus diuji. Sejauh mana generasi muda hari ini dapat mengaplikasikan nilai-nilai dan semangat kepeloporan, kejuangan serta kepahlawanannya dapat menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa. NKRI harga mati![]

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Salah-satu Inisiator Kedai Ide Pancasila

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda).

Referensi:
A. Khoirul Anam dkk. 2013. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama, Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren. Jakarta: Mata Bangsa & PBNU.
Anthony Giddens. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis Karya-Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta: UI-Press.
cnbcindonesia.com. 28-9-2022.
———————–. 22-10-2022.

Temukan juga kami di Google News.