Jakarta – Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengingatkan bahayanya opini publik terhadap suatu kasus yang tengah ditangani pihak berwajib. Bahkan, ia menyebut bahwa orang yang tidak bersalah bisa dituduhkan melakukan tindak pidana kejahatan.

Fenomena tersebut, kata Devie biasa disebut Cancel Culture yang merupakan sebuah fenomena yang berupaya menafikan atau mengasingkan, sosok, kelompok atau produk tertentu yang sebenarnya belum tentu berbasis fakta dan data yang sebenarnya.

“Ini adalah sebuah pandemi sosial yang cukup mengerikan dalam konteks dunia digital dan viralitas yang berisi opini yang membabi buta itu akan semakin memperkuat polarisasi yang ada dilinimasa. Karena manusia pada dasarnya hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar, hanya ingin melihat apa yang ingin dia lihat dan itu mendapatkan panggung nya di ruang media sosial,” ujar Devie dalam keterangannya, Selasa (2/8/2022).

Hal tersebut Devie ungkapkan menyikapi pemberitaan kematian Nofryansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang saat ini masih dalam penyelidikan pihak kepolisian. Namun, di media sosial sudah gaduh mengenai opini-opini liar yang berkembang dan menuduh seseorang yang belum dinyatakan bersalah dalam proses penyelidikan scientific crime investigation.

Pada hakikatnya, lanjut Devie, media sosial itu menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas yang memungkinkan penggunanya beraksi bebas kadang hingga kebablasan. Ia pun mengutip sebuah buku yang mengatakan, matinya para ahli atau The Death of Expertise, yang merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia yang mengakibatkan sering kali muncul kasus-kasus yang gaduh tapi salah tuduh karena tuduhan-tuduhan tersebut akhirnya berujung pada kesalahan.

“Awalnya Cancel Culture kemudian bisa berubah menjadi Cancer Culture karena itu betul-betul mematikan artinya orang yang sudah dituding bahkan jauh dari proses hukum yang ada. Misalnya dalam konteks proses hukum itu ‘dia sudah terpenjara, terhukum dan sebagainya, baik dalam konteks sosial, konteks ekonomi dan sebagainya’,” ujar Devie yang merupakan founder KlinikDigital.org.

Lebih lanjut, ia menyampaikan Post Truth adalah ketika yang disebut benar itu adalah sesuatu yang sesuai dengan apa yang saya yakini. Bahayanya, karena setiap orang punya keyakinan yang masing-masing.

Saat ini, Devie melanjutkan pemerintah juga aktif melakukan program literasi digital agar membiasakan masyarakat menjadi lebih objektif. Karena uniknya masyarakat Indonesia yang belum seperti barat misalnya yang pernah memasuki dari era masyarakat lisan kemudian masuk ke masyarakat tulisan baru pindah ke masyarakat digital.

“Sedangkan masyarakat kita dari masyarakat lisan tiba-tiba lompat ke masyarakat digital,” katanya.

Menurut Devie, media saat ini sebagai satu-satunya sekarang yang bisa kita andalkan karena kalau media yang benar pasti akan melalui sebuah proses panjang dalam mengungkapkan sebuah fenomena atau kasus.

“Memang ini tidak bisa kerja sendirian, semua pihak akademisi, media, dan civil society harus bekerjasama. Sebenarnya berita positif jauh lebih banyak tapi tidak diviralkan. Bagaimana caranya bersama-sama menyebarkan berita yang positif agar kemudian pelan-pelan mengimbangi tsunami informasi yang negatif,” katanya.

Temukan juga kami di Google News.