Jakarta — Koalisi Masyarakat Sipil secara resmi mengajukan gugatan materiil terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini menyoroti sejumlah pasal yang dinilai memperluas peran militer ke ranah sipil dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil, demokrasi, serta hak asasi manusia.
Manajer Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Teo Reffelsen, menegaskan bahwa penolakan terhadap UU TNI tidak dapat dipisahkan dari dampaknya terhadap perlindungan lingkungan hidup dan hak masyarakat adat. Menurutnya, perluasan tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, termasuk pelibatan TNI dalam membantu tugas pemerintahan dan penanggulangan ancaman siber, membuka ruang militerisasi persoalan lingkungan dan agraria yang seharusnya ditangani secara sipil.
“Pasal-pasal ini terlalu luas dan multitafsir. Dalam praktiknya, ia melegitimasi pelibatan TNI dalam konflik agraria dan pengelolaan kawasan hutan, yang justru memperkeras konflik dan meningkatkan risiko pelanggaran HAM,” ujar Teo.
Teo juga menyoroti Pasal 7 ayat (4) UU TNI yang memungkinkan pelaksanaan OMSP diatur melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden tanpa persetujuan DPR. Ketentuan tersebut dinilai melemahkan kontrol demokratis dan akuntabilitas sipil atas penggunaan kekuatan militer. Selain itu, Pasal 47 ayat (1) yang memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil dinilai mengaburkan batas fungsi pertahanan dan pemerintahan sipil.
“Ketentuan ini bertentangan dengan prinsip netralitas TNI dan supremasi sipil.
Kami melihat dampak nyatanya melalui berbagai kerja sama lintas kementerian dengan TNI di sektor kehutanan dan sumber daya alam,” tegasnya.
Lebih lanjut, Teo mengaitkan UU TNI dengan RUU/UU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) yang juga ditolak oleh koalisi masyarakat sipil. Menurutnya, definisi ancaman yang luas dalam UU KKS berpotensi menempatkan kritik, kampanye, dan advokasi lingkungan di ruang digital sebagai ancaman keamanan.
“Kombinasi UU TNI dan UU KKS berbahaya karena menormalisasi pendekatan keamanan terhadap persoalan lingkungan dan ruang digital. Pembela lingkungan bisa dikriminalisasi hanya karena menyuarakan kritik,” kata Teo.
WALHI menegaskan dukungannya terhadap gugatan materiil Koalisi Masyarakat Sipil di MK sebagai langkah konstitusional untuk mengoreksi arah politik hukum keamanan negara. Koalisi meminta MK membatasi secara tegas peran militer di ranah sipil, memperkuat kontrol sipil dan parlemen, serta menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat dan pembela lingkungan hidup.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan