JAKARTA – Solidaritas Perempuan (SP) secara tegas menyoroti potensi kerentanan baru yang akan muncul dari rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyidik dalam tindak pidana keamanan dan ketahanan siber.

Ketua Badan Eksekutif Nasional SP, Armayanti Sanusi, menyatakan bahwa upaya memasukkan TNI ke dalam fungsi penyidikan siber akan semakin memperparah ancaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan prinsip negara hukum.

“Saya pikir ini akan menciptakan kerentanan-kerentanan baru ya, kita punya banyak persoalan di dalam implementasi undang-undang,” kata Armayanti kepada wartawan, Senin, 1 Desember 2025.

Arma, sapan karibnya, menyatakan memang ada keperluan memperkuat aparat penegak hukum di dalam konteks keamanan siber – yang bisa – dikorelasikan dengan kekerasan atau kejahatan terhadap perempuan.

Pasalnya, kekerasan seksual di ranah siber bersifat unik beserta tantangan yang ditimbulkan oleh kejahatannya, sementara korban paling rentan adalah kaum perempuan.

“Nah, ditambah lagi kalo misalnya TNI masuk ke situ. Itu bisa kita melihat pola-pola kekerasan yang akan muncul, termasuk juga persepektif yang tidak berorientasi kepada korban, maka ini akan menjadi beban atau menambah lapisan kekerasan terhadap korban,” ujarnya.

Arma menjelaskan bahwa ketidakseimbangan relasi kuasa antara sipil dan militer sudah merupakan fakta yang nyata.

Dengan premis bahwa kekerasan sering kali berakar dari relasi kuasa yang timpang tersebut, maka upaya melibatkan unsur militer dalam urusan penyidikan sipil akan menciptakan lapisan relasi kuasa baru yang tumpang tindih.

Menurutnya, kondisi ini memiliki implikasi serius, yaitu timbulnya kerentanan berlapis yang akan dihadapi oleh korban, mengingat adanya dimensi militer dalam penegakan hukum tersebut.

Tegakkan Peradilan HAM

Menilik konteks kekerasan yang terjadi, Arma menilai Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM) harus diperkuat, terutama berkaca dari dampak buruk persoalan militeristik.

Ia menekankan adanya ironi besar; isu peradilan HAM seharusnya sudah selesai dan tuntas sejak era Reformasi 1998.

Namun, alih-alih terwujudnya keadilan yang komprehensif, perjuangan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu dan memastikan akuntabilitas di masa kini justru terus berlanjut, menunjukkan sebuah kemunduran dalam janji Reformasi.

“Yang urgent itu adalah Peradilan HAM ditegakkan untuk kemudian bisa menyelesaikan persoalan-persoalan HAM masa lalu dan hari ini banyak menciptakan kerentanan ya, seperti kekerasan atau perluasan kewenangan militer di Indonesia,” jelasnya.

Tidak hanya pada konteks keamanan, tetapi menurut Arma ranah-ranah publik juga termasuk seperti sektor pertanian, perikanan, hingga kehutanan di tengah maraknya bencana saat ini.

“(Kalau) militer masuk ke ranah itu, artinya kita melihat kerentanan akibat relasi kuasa antara militer dan sipil akan terus meluas ke beberapa wilayah. Tak hanya dalam konteks masa lalu, tapi juga pada konteks hari ini situasinya akan meluas,” kata dia.

Arma menekankan bahwa peradilan HAM harus menjadi isu yang sektoral dan kemudian harus ditegakkan serta difasilitasi oleh negara.

Selain itu, Arma melontarkan kritik terhadap cara pandang umum mengenai keamanan data pribadi yang dianggap terlalu sempit.

Menurutnya, pembahasan keamanan data seharusnya tidak hanya berfokus pada konteks individu semata, melainkan harus diangkat pada implikasi yang jauh lebih besar terhadap gerakan-gerakan kolektif.

Implikasi ini mencakup perlindungan data yang berkaitan erat dengan aktivisme kemanusiaan, demokrasi, lingkungan hidup, dan berbagai isu sosial penting lainnya.

“Kita melihat misalnya negara diberikan kewenangan cukup luas di dalam mengambil data pribadi tentu akan menjadi ancaman terhadap gerakan HAM dan lingkungan,” kata dia.

Hari ini banyak kaum perempuan yang dikriminalisasi oleh berbagai persoalan, termasuk isu-isu lingkungan hingga buruh migran.

Ketika di dalamnya masuk lagi hal-hal yang berbau militeristik, maka indikasi itu merupakan ancaman, khususnya bagi aktivis perempuan.

“Terutama dalam memperluas kewenangan penegak hukum, dalam hal ini, termasuk pelemahan-pelemahan dan konteksnya ini ya gerakan-gerakan atau ruang yang mengkritisi situasi demokrasi, HAM, lingkungan dan sebagainya itu,” pungkas Arma.