Jakarta – Democratic Judicial Reform (De Jure) meminta Kejaksaan Agung mengusut skandal penilapan barang bukti perkara investasi bodong Robot Trading Fahrenheit tanpa pandang bulu. Desakan itu disampaikan Direktur Eksekutif De Jure Bhatara Ibnu Reza menanggapi keputusan pencopotan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Hendri Antoro yang diduga terlibat dalam skandal itu.

“Kami mendesak Kejaksaan untuk mengusut tuntas kasus ini secara adil, tanpa membeda-bedakan para pelaku serta memberikan hukuman yang setimpal dan bukan hanya menghukum pelanggaran administrasi berupa pencopotan jabatan dan/atau penghentian fungsi jaksa pada Kejaksaan RI,” kata Bhatara dalam keterangan tertulis, Rabu, 15 Oktober 2025.

Dalam kasus itu, Kejaksaan Agung mencopot Hendri Antoro sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat karena diduga menerima Rp 500 juta dari anak buahnya, jaksa Azam Akhmad Akhsya. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna mengatakan sanksi tersebut merupakan sanksi tertinggi yang bisa diberikan kepada Hendri. “Sudah terberat itu,” kata Anang kepada wartawan saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 9 Oktober 2025.

Selain dicopot dari jabatannya, Hendri juga dibebastugaskan sebagai jaksa dan bekerja di bagian tata usaha selama satu tahun. Saat ini Jaksa Agung telah menunjuk Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jakarta Haryoko Ari Prabowo sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kajari Jakbar.

Meski mencopot Hendri, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa ia tidak memiliki niat jahat ketika menerima uang tersebut. Kejaksaan berdalih bahwa Hendri, sebagai atasan Azam, hanya lalai dan belum terbukti adanya mens rea dalam perkara ini.

Di sisi lain, Azam telah divonis sembilan tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI pada 11 September 2025. Berdasarkan surat dakwaan, Azam membagikan uang hasil kejahatannya kepada sejumlah jaksa, termasuk Hendri Antoro.

De Jure menilai kejaksaan tidak menginginkan penuntasan kasus ini hingga tingkat yang lebih tinggi, namun tengah berusaha untuk memutus rantai keterlibatan dengan menghentikannya hanya pada kasus Azam. “Terkesan kuat jika kejaksaan memberikan perlindungan dan pembelaan yang tidak proporsional kepada orang yang diduga ikut terlibat menerima uang yang seharusnya dikembalikan kepada para korban tindak pidana tersebut,” kata dia.

Bhatara menyinggung sejumlah undang-undang dan peraturan perundang-undangan tentang disiplin pegawai negeri sipil, seperti yang tertuang dalam Pasal 4(i) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021. Dalam beleid tersebut, PNS dilarang menerima segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan.

“Untuk itu, baik orang yang menerima sudah sepantasnya dan sepatutnya menduga bahwa pemberian uang ratusan juta rupiah tersebut adalah bentuk pelanggaran serius yang berimplikasi telah terjadinya tindak pidana,” ujar Bhatara.

Pembelaan dan perlindungan kejaksaan kepada anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran, kata Bhatara, akan berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap penegakan hukum. Langkah yang dilakukan kejaksaan dalam rangka memberikan perlindungan kepada jaksa penerima uang ini berbanding terbalik dengan komitmen Jaksa Agung yang ingin membersihkan korps Adhyaksa dari para jaksa yang melakukan penyalahgunaan wewenang.

De Jure juga meminta Komisi Kejaksaan Agung menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan Perpres 18 Tahun 2011. Komisi Kejaksaan, Bhatara berujar, seharusnya berada di pihak korban sejak hari pertama kasus ini muncul dan melibatkan sejumlah aparatus dan pimpinan Kejaksaan Negeri Jakarta Barat tanpa harus menunggu adanya pengaduan korban.

Sumber : Tempo.co

Temukan juga kami di Google News.