Jakarta – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi meyakini tidak ada ‘kultur kekerasan’ di instansi Polri. Menurutnya, frasa tersebut hanyalah ‘framing’ atau ‘penggiringan opini’ yang disematkan oleh sejumlah pihak terhadap kepolisian akibat ulah segelintir oknum.

“Tidak ada sistem yang sempurna. Dalam padi setangkai tidak mungkin bernas semuanya, pasti ada yang hampa. Dan yang hampa ini adalah oknum. Dalam prosesnya akan tersingkir dengan sendirinya seperti seleksi alam,” kata R Haidar Alwi, Kamis (4/7/2024).

“Ulah oknum inilah yang kemudian dijadikan bahan untuk mengkritisi ataupun menggiring opini yang menyudutkan Polri dengan tujuan tertentu. Padahal, ‘kultur kekerasan’ di Polri itu sebenarnya tidak ada, karena Polri bertugas menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban, melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat,” imbuh R Haidar Alwi.

Ia melihat, seiring dengan mencuatnya sejumlah kasus, frasa ‘kultur kekerasan’ di jajaran kepolisian kembali populer di masyarakat. Mulai dari pengakuan mantan terpidana kasus pembunuhan Vina Cirebon, Saka Tatal, kasus kematian pelajar SMP di Padang, Afif Maulana, hingga rilis tahunan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada HUT ke-78 Bhayangkara 1 Juli 2024.

Pada periode Juli 2023 sampai Juni 2024, KontraS menemukan 645 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri, 38 orang meninggal dunia dan 759 luka-luka. Sedangkan pada periode Juli 2022 sampai Juni 2023, terdapat 622 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri dengan 187 orang meninggal dunia dan 1363 luka-luka.

Secara jumlah, ada penambahan sebanyak 23 kasus atau 3,69 persen. Akan tetapi secara korban meninggal dunia berkurang 149 atau 79,67 persen dan korban luka-luka juga berkurang drastis 594 atau 43,58 persen.

“Saya kira ini menunjukkan adanya perbaikan signifikan di tubuh Polri. Bahwa Polri semakin humanis dan mengedepankan HAM dalam bekerja. Sejalan dengan temuan Komnas HAM beberapa waktu lalu. Yang mana pengaduan terhadap Polri menurun dari 861 aduan pada 2022 menjadi 771 aduan pada 2023,” jelas R Haidar Alwi.

R Haidar Alwi mengingatkan dan menegaskan, tidak semua kekerasan yang melibatkan anggota Polri dilakukan secara sewenang-wenang atau melawan hukum.

“Dalam peraturan perundang-undangan, anggota Polri diberi wewenang untuk melakukan kekerasan atau menggunakan senjata api jika terpaksa dan diperlukan sebagai upaya akhir. Misalnya untuk membela diri dan masyarakat dari ancaman kematian atau luka berat, menghadapi keadaan luar biasa, dan lain-lain,” tutup R Haidar Alwi.

Temukan juga kami di Google News.