Jakarta – Pemilu 2024 diharapkan berjalan damai dan penuh keadaban. Seluruh pihak hendaknya bersama menghentikan penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang memecah persatuan.

Ketua Umum Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) Syarief Hidayatullah mengaku dirinya aktif menyosialisasikan anti hoax dan fitnah selama bertemu akar rumput.

“Capek kita kalau ingat 2019, cebong dan kampret. Sesama saudara saling bermusuhan,” kata Syarief dalam diskusi, Pemilu 2024 Sejuk Tanpa Hoax, Ujaran Kebencian, dan SARA kerja sama GPMI dan Tribunrakyat, di Jakarta, Jumat (13/10).

Syarief meminta, narasi dalam berkampanye tidak membawa-bawa isu agama yang dapat memecah belah kebangsaan dan permusuhan.

“Masyarakat kita jejali informasi fakta dan prestasi. Tak ada narasi menjatuhkan, rekam buruk orang atau calon lain, apalagi ujaran kebencian dengan bawa-bawa agama,” tegasnya.

Namun demikian, mencegah hoax dan fitnah merajalela, lanjut Syarif, bukan tugas satu pihak saja. Melainkan seluruh pihak wajib memberi edukasi kepada masyarakat. Termasuk melalui diskusi publik semacam ini.

“Apalagi tukang ayam, tukang jamu, udah main Instagram, Twitter, dan Facebook. Ini ruang media sosial harus disterilkan. Dulu ada bandar dan juragannya. Sekarang semoga sudah tidak ada para provokator di media sosial,” harapnya.

Sementara itu, Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas meminta publik tak terpancing menyebar hoax dan ujaran kebencian selama proses Pemilu 2024.

“Hoax dan ujaran kebencian ini menarik. Narasi dan judulnya dibikin heboh. Kalau tak menarik, tak akan memancing publik. Masalahnya masyarakat kita tidak melalukan kroscek kebenaran seluruh berita,” kata Fernando di tempat yang sama.

Dikatakan, hoax dan fitnah tujuannya jelas untuk menjatuhkan lawan. Masalahnya, efek dari kerjaan tim sukses calon ini mengundang permusuhan antara pendukung dan segregasi di tengah masyarakat.

Fernando menyarankan, mestinya, persaingan politik saat ini meningkatkan narasi kelebihan calonnya. Bukan mendowngrade lawan politiknya. Tinggalkan pola negative campaign apalagi black campaign.

“Saya berharap, tiga Capres dan para pendukungnya tidak melakukan ini. Kita ini negara beradab. Demokrasi harus berjalan penuh keadaban. Jangan kita rusak persaudaraan kebangsaan sepanjang umur kita hanya karena kegiatan lima menit di TPS,” pesannya.

Mengenai narasi suku dan primordialisme, Fernando menilai, ini tak bisa dihindari. Karena komposisi penduduk Indonesia memang beragam. Artinya, narasi kalau mau menang harus pilih yang mewakili Jawa, tak terelakkan.

Artinya, isu kesukuan ini tak terlalu berbahaya ketimbang isu agama yang amat sensitif dan menyulut konflik.

“Karena memang mayoritas adalah Jawa. Maka sah saja kalau kita bilang, yang mungkin menang, yang menggaet dari provinsi besar di Jawa, perempuan, atau jenis promordial yang lain. Yang penting bukan hoax dan ujaran kebencian,” ujarnya.

Pegiat Media Sosial Darmansyah melihat, hoax dan fitnah, ketika dibagikan tim pemenangan yang jelas, maka publik akan ikut membagikan. Tetapi kalau sumber akunnya tidak jelas, publik cenderung tidak ikut menyebarkan.

“Pihak media sosial, bisa men-takedown akun yang menyebarkan hoax. Distribusi jalur fakta jangan sampai diputus oleh hoax. Semua berperan menyetop ini. Pengguna media sosial harus teliti dan cermat. Jangan asal membagikan postingan. Proses kurasi penting,” pesannya.

Temukan juga kami di Google News.