JAKARTA – Kepala Biro Persidangan, Sisfo, dan Pengawasan Internal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Brigjen TNI I Gusti Putu Wirejana mengaku sudah mengirim surat dan rancangan Perpres kepada Presiden Joko Widodo terkait perubahan Wantanas menjadi Dewan Keamanan Nasional (Wankamnas/DKN), 8 Agustus 2022.

Pengacara publik LBH Jakarta Teo Reffelsen mengatakan, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi telah mengeluarkan rilis terkait penolakan dibentuknya DKN dan memandang agenda pembentukan lembaga DKN merupakan agenda lama yang dimasukan dalam RUU Kamnas.

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi memandang, langkah pemerintah saat ini dengan memaksakan Perpres merupakan jalan pintas pasca RUU Kamnas gagal disahkan dan juga tidak ada urgensinya untuk membentuk DKN, karena akan dapat menimbulkan tumpang tindih (overlapping) dengan kerja dan fungsi lembaga negara yang ada.

Kata Teo, saat ini sudah ada lembaga yang melakukan fungsi koordinasi bidang keamanan nasional di bawah Kemenko Polhukam. Dalam memberikan nasihat kepada Presiden juga telah ada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) serta Kantor Staf Presiden (KSP). Namun, kata dia, jika pemerintah tetap bersikeras membentuk DKN, maka fungsi lembaga tersebut harus dibatasi hanya untuk memberikan pertimbangan/nasihat kepada Presiden.

“Pembentukan DKN yang dilakukan terburu-buru dan terkesan tertutup patut dicurigai bahwa pemerintah sedang membentuk wadah represi baru seperti halnya pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada masa Orde Baru,” ungkapnya, hari ini.

Dikatakannya, Dewan Keamanan Nasional melalui Sekjen DKN memiliki fungsi pengendalian penanganan krisis nasional, serta pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan penanganan krisis nasional. Dengan kewenangan pengendalian keamanan itu maka dewan keamanan nasional memiliki kewenangan yang sangat luas yang dapat mengontrol kondisi stabilitas keamanan yang potensial berdampak pada hak asasi manusia.

“Fungsi kelembagaan pengendali seperti dewan keamanan nasional ini serupa tapi tak sama dengan Kopkamtib seperti pada masa orde baru dan ini berbahaya bagi kondisi HAM,” ujarnya.

Menurutnya, jika mengacu kepada Undang-undang Tentang Pertahanan Negara Nomor 3 Tahun 2002, maka Pemerintah diminta untuk membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN), bukan Dewan Keamanan Nasional (DKN). Pasal 15 UU Pertahanan Negara menyatakan, “dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional yang berfungsi sebagai penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara. Pembentukan DPN akan diatur kemudian melalui keputusan Presiden.”

“Namun sejak undang-undang tersebut dibuat, Pemerintah belum juga membentuk dewan pertahanan nasional. Yang ada justru saat ini pemerintah malah ingin membentuk dewan keamanan nasional. Langkah tersebut justru melenceng jauh dari amanat UU yang sudah ada,” bebernya.

Pihaknya menilai, kehidupan demokrasi hari ini adalah buah dari perjuangan politik kalangan pro demokrasi 1998. Karena itu, lanjut dia, kalangan elit politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis pemerintahan, semestinya menjaga dan memajukan sistem demokrasi.

“Bukan sebaliknya mengabaikan sejarah dan pelan-pelan mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru dengan membentuk dewan keamanan nasional dan melakukan revisi UU TNI dengan tujuan melegitimasi penempatan TNI dalam jabatan Sipil,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.