Oleh Ayik Heriansyah

Pemikiran politik kreatif NU hidup, tumbuh dan berkembang karena NU memiliki tradisi ilmiah dan metodologi berpikir yang teruji. Disamping itu NU lebih suka menjam’u (merakit dan meramu) puncak-puncak pemikiran yang ada sekalipun kontradiksi untuk mendapatkan sintesa kreatif.

NU sepertinya tidak suka mentarjih (mengunggulkan satu pendapat an membuang pendapat yang tidak unggul). Karena NU sadar pendapat sekuat apapun tetap bukan nash dan pendapat selemah apapun tetap dianggap ijtihad.

Ini yang membuat pemikiran politik NU hidup, tumbuh, berkembang dan dinamis. NU memberi ruang wacana seluas-luasnya kepada jama’ah untuk bereksperimen, melontarkan ide-ide kreatif mereka dan mengujinya.

Dari suasana ilmiah NU ini lahir pemikiran-pemikiran politik kreatif sintetik diantaranya:

1) Indonesia sebagai darul Islam bi makna darussalam bukan bi makna daulah Islamiyah (1936).

2) Resolusi Jihad (1945).

3) Waliyul Amri Dharuri bi Syaukah (1954).

4) Pancasila sesuai ajaran Islam (1983)

5) Sebutan Ghairul Muslim untuk orang kafir yang menjadi warga negara (al-muwathin)(2019).

Warga NU sudah selayaknya bersyukur menjadi bagian dari organisasi besar secara keilmuan setara dengan Al-Azhar Kairo.