SURABAYA – Dosen Unair Surabaya Dr. Airlangga Pribadi Kusman menyebut berita bohong, fitnah dan ujaran kebencian adalah unsur-unsur yang sangat merusak proses demokrasi di Indonesia. Terutama juga terkait dengan politik elektoral yang sedang berkembang saat ini karena ada beberapa alasan.

Pertama, kata sosiolog itu, berkembangnya hoax atau fitnah dan pikiran-pikiran kebencian maka pemilih akan memilih wakilnya atau pemimpinnya dalam politik pemilu, tidak berdasarkan pada akal sehat, tapi berdasarkan pada emosi dan pada kebencian terhadap yang lain.

“Pilihan-pilihan politik tidak dibangun berdasarkan pada rasionalitas dan data yang kuat tetapi lebih diprovokasi pada kebencian,” ungkap Airlangga, 12 Maret 2019.

Kedua, lanjut dia, dengan menyebarnya hoax dan berita bohong, fitnah serta ujaran kebencian itu adalah merusak proses demokrasi di Indonesia. Karena demokrasi secara normatif mensyaratkan adanya partisipasi politik masyarakat yang kuat. Tapi dengan menyebarnya hoax, berita kebencian, berita bohong, serta fitnah, ia melihat bahwa partisipasinya diisi oleh konten-konten yang buruk.

“Konten-konten yang membuat warga kita tak mampu membangun sebuah masyarakat yang beradab. Yang terjadi adalah perpecahan, pertarungan, penyebaran kebencian, serta keretakan di kalangan masyarakat. Serta yang lebih mendasar lagi bahwa demokrasi sebagai ruang dialog bersama itu semakin melemah karena kita tidak berdialog dengan baik berdasarkan saling menghormati satu sama lain dan berdasarkan dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan validitasnya,” jelas Airlangga.

Oleh karena itu, tambah Airlangga, maka sebagai bagian dari penguatan dan pendalaman demokrasi maka seluruh komponen masyarakat dan aparat negara itu harus meredam, dan kalau bisa meminimalisir penyebaran hoax, ujaran kebencian, dan fitnah di masyarakat. Semua dari seluruh komponen masyarakat, apapun pilihan politiknya ini memiliki kebutuhan dan tanggung jawab untuk memenuhi suasana kondusif sehingga bisa merealisasikan pemilihan umum dan Presiden yang berjalan dengan damai dan hangat, dan tidak membawa provokasi-provokasi di masyarakat.

“Karena tanpa adanya kedamaian tidak ada stabilitas politik, tanpa ada stabilitas politik maka proses demokrasi kita akan mandeg. Dengan demokrasi yang mandeg kita tidak akan bisa membangun dan mencapai kesejahteraan dari masyarakat. Oleh karena itu pemilu yang damai bukan saja menjadi kebutuhan kita, tapi menjadi tanggung jawab kita bersama,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.