Jakarta – Ketua Presidium Jaringan Aktivis Reformasi (Jari) 98, Willy Prakarsa, mengapresiasi peran Presiden Jokowi dan TNI-Polri yang berkontribusi besar menciptakan Pemilu 2024 yang aman dan Damai.

“Pilpres dan pemilu baru saja berlalu, hal yang pertama saya ucapkan kepada Presiden Jokowi berserta jajarannya yang telah memberikan kontribusi yang luar biasa,” kata Willy dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Meneropong Indonesia Pasca Pemilu 2024’ di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (21/2/2024).

“Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Panglima TNI dan Kapolri berserta jajaran yang telah bisa bisa memberikan rasa aman, nyaman, damai sehingga tindak menggangu kantibmas, Pilpres berjalan dengan baik. Semoga dengan sinergisitas ini mengabdikan diri untuk bangsa dan negara ke depan akan mendapatkan balasan yang setimpal,” sambungnya.

Berdasarkan hasil hitung cepat atau real count yang ditangkan berbaga lembaga survei, pasangan Prabowo-Gibran meraih kemenangan hampir 59 persen pada Plpres 2024 kali ini.

“Bicara soal real count, saat ini pemenangnya mutlak, 58 sampai 59 persen dimenangkan Prabowo-Gibran sehingga kita yang di sini mengucapkan selamat. Tantangan untuk republik ini sangat luar biasa untuk bangkitkan ekonomi dan sebagainya,” jelas Willy.

Pihaknya juga mengapresiasi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang turut memeriahkan gelaran pesta demokrasi lima tahunan ini. Menurutnya, mereka adalah sosok negarawan yang patur diapresiasi.

“Saya berkeyakinan, pasangan Anies-Baswedan adalah negarawan yang baik, kata siap Amin kalah? Enggak kalah kok, tetapi kemenangan yang tertunda. Saya juga mengucapkan selamat kepada Pak Ganjar maupun Pak Mahfud MD, saya memberikan apresiasi ketika Pak Mahfud mengucapkan selamat. Gentle man. Ini yang saya suka. Jika beliau ikut kembali jadi capres, insya Allah kita akan dukung karena itu yang kita harapkan,” tegas dia.

“Kemudian peran aktif dari Baintelkam Polri, saya apresiasi kepada kawan-kawan Baintelkam, melakukan monitoring kemudian merangkul dengan humanis di tengah terik matahari, cemooh, hujat fitnah, dia monitor, saya mengucapkan terima kasih. Juga semuanya pun ini pilpres tidak akan bisaa ramai tanpa adanya teman-teman media,” ujarnya,

Aktivis 98 ini menegaskan bahwa usai gelaran pemilu Indonesia masih memiliki banyak persoalan yang harus dihadapi dan diselesaikan seperti masalah ekonomi, kesetaraan hukum hingga persoalan politisasi agama yang dapat menmbulkan polarisasi di masyarakat.

“Kemudian yang ingin kami sampaikan, yang dihadapi ke depan ini tantangannya sangat luar biasa terutama masalah ekonomi kemudian kesetaraan hukum lalu masalah agama. Serem kalau agama jadi komoditas (politik). Kita bicara apa adanya, kalau bicara politik ya politik, agama ya agama, jangan dipolitisir ke arah politik,” kata Willy.

Selain itu, dirinya juga mengajak semua pihak untuk tidak melakukan aksi-aksi yang mengarah kepada provokasi apalagi di ruang publik seperti media sosial. Yang penting, kata dia, tugas pemerintah saat ini adalah bagaimana menciptakan banyaknya lapangan pekerjaan.

“Tantangan ke depan adalah tolong ciptakan lapangan kerja yang baik, rakyat enggak neko-neko sepanjang terciptanya sebuah lapangan kerja. Kemudian untuk para pengikut paslon 01 dan 03, terimalah kenyataan dalam sebuah permainan ada menang ada kalah. Gak usah kita provokasi. Enggak usah lagi semua jari-jari kita, tangan kita mengetik di medsos pada akhirnya hanya jadi sampah. Untuk provokasi juga enggak bagus. Kita bersaudara, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa,” ujar dia.

Kelompok Radikal Tunggangi Isu Provokatif Tolak Hasil Pemilu

Sementara itu, Ketua Umum Perjuangan Rakyat Nusantara (Pernusa) KP Norman Hadinegoro, mengakui pesta demokasi tahun ini tak sedramatis tahun 2019. Meski Pemilu 2024 telah usai, masih ada beberapa masalah-masalah kebangsaan yang perlu diantisipasi di tengah situasi politik nasional saat ini.

“Pemilu kali ini lebih baik dari 2019. Saya mengantisipasi, ini kapan selesainya? Saya saya yakin ini belum selesai. Ini akan terjadi demo berjilid-jilid, kenapa? Yang kalah itu tidak mau mengakui kekalahannya, kalau bisa pemilu ulang lagi,” ujar Norman.

Dia menduga, masih ada beberapa aliran dari kelompok radikal yang menggunakan berbagai cara untuk melakukan manuver-manuver politik secara provokatif yang mengarahkan adanya persepsi mosi tidak percaya terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Termasuk menolak hasil Pemilu.

“Aliran radikal bermain sekarang bermain dengan berbagai macam cara. Silahkan saja bermain asal jangan anarkis. Jadi mereka ini arahnya sudah tidak percaya lagi dengan Bawaslu dan KPU, ya begitulah watak-watak dari aliran radikal. Arahnya turunkan Presiden Jokowi, ini terjadi. Nah tapi pemilu sekarang ini agak mendingan dibanding 2019. 2019 sadis banget,” jelas dia.

Menurutnya, untuk mengantisapsi hal tersebut maka yang harus dilakukan yakni dengan memperkuat penegakan hukum secara profesional berdasarkan regulasi yang berlaku. “(Langkah hukum yang seharusnya) penegakan hukum. Satu-satunya jalan, penegakan hukum, kita berdasarkan UU yang ada. Harapan saya insya Allah tidak ada gelojak, negara kita cepat akan maju. Kita ingin membangun masyarakat Pancasila, kita punya peradaban yang tinggi. Saya berharap bangsa ini damai,” katanya.

“(Politik yang harusnya dibangun) politik kebangsaan. Politik berdasarkan tata nilai Pancasila. Mohon maaf, kita tidak mengenal yang namanya oposisi, kita mengenal yang namanya di luar pemerintahan. Demokrasi enggak seperti itu, musyawafah mencapai mufakat,” sebutnya.

Sudah selayaknya gunakan jalur konstitusi

Ditempat yang sama, Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto, mengapresiasi kepada para kandidat pemilu yang mengedepakan jalur konstitusi dalam menghadapi perkara dan sengketa pada pemilu 2024. Menurutnya, jalur konstitusi tersebut sudah selayaknya digunakan sehingga dapat meminimalisir adanya manuver-manuver politik di luar jalur hukum.

“Bagaimanapun PDI Perjuangan yang mengusung calon nomor tiga akan menggugat ke MK, artinya jalur konstitusi tetap dikedepankan. Kemudian juga kelompok Amin, tinggal bagaimana publik kita ini bisa menilai, mencerna kalau memang bukti-bukti dan secara konstitusi bisa digugat. Ruang di luar pemerintahan itu juga harus tetap berjalan,” kata Hari.

Hari menyatakan, Indonesia adalah negara yang menganut sistem presidensial dan bukan parlementer. Di sisi lain yang menjadi kekuatan hukum tetap seperti MK, apapun hasilnya semua pihak harus menerima dengan lapang dada.

“Artinya tetap menjaga kalau memang itu diamanatkan, diputuskan secara konstitusi bahkan ketika itu digugat ke MK dan kalah, ya kita harus terima. Jadi tidak adalagi yang berjilid-jilid, selesai,” katanya.

Pihaknya mengajak publik untuk tidak lagi mundur ke belakang dalam menghadapi peristiwa politik saat ini. Ia juga mengajak semua elemen untuk terus mengkritisi kebijakan-kebijakan secara faktual.

“Kalau bicara mundur, 2019, Prabowo sendiri bilang ada kecurangan tapi hari ini kita enggak bisa lagi mundur soal jejak digital. Yang pasti bagi saya kekuatan oposisi itu harus tetap ada sebagai bentuk pengimbang,” pungkas Hari.

Temukan juga kami di Google News.