Jakarta — BEM Institute STIAMI melalui Menteri Koordinator Sosial dan Politik, Sdr. Muhammad Iqbal, mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya mahasiswa dan pemangku kebijakan, untuk bersama-sama menjaga stabilitas sosial dan mencegah eskalasi polemik publik menyikapi pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ajakan ini disampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral mahasiswa dalam mengawal proses legislasi nasional agar tetap berada dalam koridor demokrasi, konstitusi, dan perlindungan hak asasi manusia.
Sdr. Muhammad Iqbal menegaskan bahwa BEM Institute STIAMI memahami argumentasi pemerintah dan DPR RI yang menyatakan RKUHAP telah disusun melalui proses panjang serta ditujukan untuk menjawab kebutuhan pembaruan hukum acara pidana seiring akan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 2 Januari 2026. Namun demikian, ia menilai bahwa ruang dialog publik yang inklusif dan substansial tetap harus diperkuat agar tidak menimbulkan kegaduhan sosial maupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Dalam pandangan BEM Institute STIAMI, percepatan pengesahan RKUHAP berpotensi menimbulkan resistensi sosial apabila tidak diiringi dengan penjelasan yang transparan dan mekanisme koreksi yang terbuka. Sdr. Muhammad Iqbal menekankan bahwa kritik mahasiswa bukan dimaksudkan untuk menciptakan instabilitas, melainkan sebagai bentuk kontrol sosial agar arah pembaruan hukum tidak bertentangan dengan agenda besar reformasi penegakan hukum, khususnya reformasi kepolisian yang tengah didorong oleh pemerintah melalui pembentukan Komite Percepatan Reformasi Polri.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa kekhawatiran publik muncul karena sejumlah ketentuan dalam RKUHAP dinilai berpotensi memperluas kewenangan kepolisian tanpa penguatan mekanisme pengawasan yang sepadan. Kondisi tersebut, apabila tidak disikapi secara bijak, dikhawatirkan dapat memperdalam polemik dan memperbesar jurang ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum. Oleh karena itu, BEM Institute STIAMI mengajak pemerintah dan DPR RI untuk membuka ruang evaluasi yang konstruktif dan melibatkan masyarakat sipil secara bermakna.
Sdr. Muhammad Iqbal juga mengingatkan bahwa berbagai praktik buruk dalam penegakan hukum, seperti penyalahgunaan wewenang, salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, serta penelantaran laporan masyarakat, masih menjadi catatan serius. Menurutnya, RKUHAP seharusnya hadir sebagai instrumen korektif atas persoalan tersebut, bukan justru memperkuat sentralisasi kewenangan yang berpotensi melanggengkan impunitas aparat. Narasi pembaruan hukum, kata dia, harus sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan perlindungan warga negara.
Dalam rangka menjaga stabilitas sosial, BEM Institute STIAMI mengimbau seluruh elemen mahasiswa dan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara tertib, konstitusional, dan berorientasi pada dialog. Sdr. Muhammad Iqbal menegaskan bahwa perbedaan pandangan terhadap RKUHAP harus disikapi dengan kedewasaan demokrasi, menghindari provokasi, disinformasi, serta tindakan yang dapat memperkeruh situasi sosial dan politik nasional.
Sebagai penutup, BEM Institute STIAMI melalui Sdr. Muhammad Iqbal menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses legislasi secara kritis namun konstruktif. Pihaknya mendorong pemerintah dan DPR RI agar menjadikan kritik mahasiswa sebagai bahan evaluasi kebijakan demi menghadirkan hukum acara pidana yang adil, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat, sekaligus memastikan stabilitas sosial tetap terjaga dan polemik RKUHAP tidak berkembang menjadi konflik yang merugikan kepentingan nasional..
“BEM Institute STIAMI Dorong Dialog Konstruktif, Serukan Kedewasaan Publik Sikapi Polemik RKUHAP”
Jakarta – BEM Institute STIAMI melalui Menteri Koordinator Sosial dan Politik, Sdr. Muhammad Iqbal, menyerukan pentingnya kedewasaan publik dan dialog konstruktif dalam menyikapi polemik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Seruan ini disampaikan sebagai upaya menjaga stabilitas sosial nasional di tengah dinamika perdebatan publik yang mengemuka pasca percepatan pembahasan dan pengesahan regulasi tersebut oleh DPR RI.
Sdr. Muhammad Iqbal menyampaikan bahwa pembaruan KUHAP pada prinsipnya merupakan kebutuhan sistemik seiring akan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru pada Januari 2026. Namun demikian, ia menegaskan bahwa proses legislasi yang baik harus mampu menjawab kekhawatiran masyarakat secara terbuka dan akuntabel. Menurutnya, apabila ruang klarifikasi dan evaluasi tidak dibuka secara luas, maka potensi ketegangan sosial dan krisis kepercayaan terhadap institusi negara akan semakin membesar.
Dalam keterangannya, BEM Institute STIAMI menilai bahwa sejumlah ketentuan dalam RKUHAP masih menimbulkan kekhawatiran publik, khususnya terkait perluasan kewenangan aparat penegak hukum yang tidak diimbangi dengan penguatan mekanisme pengawasan. Kondisi tersebut dinilai bertolak belakang dengan semangat reformasi kepolisian yang selama ini menjadi agenda prioritas pemerintah. Oleh karena itu, kritik mahasiswa dipandang sebagai bentuk kontribusi intelektual untuk memperbaiki arah kebijakan, bukan sebagai upaya delegitimasi negara.
Sdr. Muhammad Iqbal juga mengingatkan bahwa pengalaman empiris menunjukkan masih adanya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dalam penegakan hukum, seperti salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, serta penelantaran laporan masyarakat. Apabila hal tersebut tidak dijadikan pijakan evaluasi dalam penyusunan RKUHAP, maka regulasi yang dihasilkan justru berpotensi memperpanjang persoalan struktural dalam sistem peradilan pidana nasional.
Untuk itu, BEM Institute STIAMI mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya kalangan mahasiswa, agar tetap mengedepankan cara-cara konstitusional dan argumentatif dalam menyampaikan aspirasi. Sdr. Muhammad Iqbal menekankan pentingnya menjaga suasana yang kondusif, menghindari narasi provokatif, serta tidak mudah terpolarisasi oleh kepentingan politik tertentu yang dapat memperkeruh situasi sosial.
Sebagai penutup, BEM Institute STIAMI menegaskan komitmennya untuk terus berperan aktif sebagai mitra kritis pemerintah dalam mengawal reformasi hukum. Melalui pendekatan dialogis dan berbasis kajian, BEM Institute STIAMI berharap polemik RKUHAP dapat disikapi secara rasional dan berorientasi pada kepentingan publik, sehingga stabilitas sosial tetap terjaga dan agenda pembaruan hukum nasional dapat berjalan secara berkeadilan dan demokratis.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan