Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menegaskan bahwa praktik penempatan anggota Polri di kementerian dan lembaga sipil bukanlah hal baru dan bukan pula bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, sebagaimana ramai dituding sejumlah pihak. Menurutnya, praktik ini telah lama berlangsung dan memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Margarito mencontohkan keberadaan personel Polri di KPK, BNN, hingga BNPT yang telah berjalan bertahun-tahun. Namun ia mengingatkan agar publik membedakan dua konsep penting dalam hukum tata negara: legalitas dan legitimasi.

“Kalau bicara legitimasi itu soal penerimaan politik dan respons masyarakat. Tapi legalitas bicara soal aturan hukum yang berlaku. Jika secara aturan sah, maka secara hukum tidak ada persoalan,” tegas Margarito.

Menanggapi tudingan bahwa Perpol yang mengatur penempatan anggota Polri di jabatan sipil merupakan bentuk “pembangkangan konstitusi”, Margarito justru melihat persoalan ini berada pada wilayah sinkronisasi regulasi. Ia menjelaskan adanya dua norma yang tampak berlawanan, yaitu UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang mensyaratkan pengunduran diri, dan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN yang justru membuka ruang bagi anggota TNI–Polri menduduki jabatan tinggi sipil.

Menurutnya, karena sistem hukum bekerja secara terpadu, maka ketentuan tersebut harus dibaca menggunakan pendekatan teleologis dan sistematik, yaitu memahami tujuan, konteks, dan hubungan antar regulasi. Dengan cara itu, muncul penalaran hukum bahwa anggota Polri tetap dapat menduduki jabatan sipil selama melepas jabatan struktural di internal Polri dan mengikuti prosedur resmi berbasis permintaan institusi, bukan penugasan sepihak.

Lebih jauh, Margarito menilai penerbitan Perpol yang justru membatasi ruang lembaga mana saja yang bisa diisi anggota Polri adalah langkah yang rasional dan bertanggung jawab. Sebab, tanpa pengaturan, potensi penempatan bisa menjadi terlalu luas akibat kekosongan spesifikasi dalam undang-undang.

“Justru Perpol ini hadir untuk memberi batasan, bukan membuka ruang liar. Ini bukan masalah Polri semata, ini masalah sistem hukum dan kewajiban pemerintah menerbitkan PP sebagaimana diperintahkan undang-undang,” tegasnya.

Ia menutup dengan menekankan bahwa polemik ini seharusnya tidak diarahkan pada tudingan liar, melainkan diselesaikan melalui pembacaan hukum yang utuh.

“Ini soal tata kelola negara, bukan soal suka atau tidak suka. Selama berjalan sesuai prosedur dan berada dalam koridor hukum, maka tidak ada dasar menyebutnya pembangkangan konstitusi,” pungkas Margarito.