Depok — Founder Rumah Moderasi Depok, juga mantan eks kombatan dalam kasus Aceh 2010, Sofyan Tsauri, selenggarakan program literasi edukasi bagi orang tua pelajar se-Jabodetabek guna menangkal paparan penyebaran intoleran, radikalisme di era digital yang semakin gencar.
Acara Seminar Parenting ini merupakan kolaborasi dengan Kementerian/Lembaga dengan tema “Orang Tua Tangguh: Peran Keluarga Dalam Menangkal Radikalisme Anak & Remaja di Era Digital, yang diselenggarakan di Aula Hotel Bumi Wiyata Depok pada Sabtu, 13/12/2025 , menghadirkan 3 Nara sumber yang berkompeten dibidangnya dari Densus Polri, Psikolog UI dan Tokoh Deradikalisasi Softyan Tsauri. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 70 perwakilan orang tua murid SMP /SMA, perwakilan mahasiswi dan keluarga eks Napi terorisme dengan cukup antusias.
Rumah Moderasi Depok pada dasarnya merupakan wadah yang isinya mantan-mantan kombatan dan keluarga eks napi teror yang berkonsern dengan pendampingan dan kegiatan positif dalam program-program Deradikalisasi.
Kepada media Ustadz Sofyan Tsauri menjelaskan bahwa di era digital terus bertransformasi memberikan peran yang positif juga sisi negatif. Sisi positif dengan mendapatkan informasi yang perkembangannya sangat cepat tapi juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan.
Beberapa kasus terdahulu, kejahatan teroris lama dapat merekrut melalui 6 tahap yaitu pertemuan, proses indoktrinasi kemudian menjadi Intoleransi dan sebagainya.
“Dulu proses terorisme melalui enam tahap, mulai dari pertemuan hingga indoktrinasi. Hari ini, hampir semua rekrutmen, terutama terhadap anak-anak, tidak lagi melalui tatap muka. Mereka tidak pernah bertemu langsung dengan perekrutnya,” ujar Sofian dalam seminar bertema peran orang tua tangguh dalam menangkal radikalisme anak dan remaja di era digital di Depok.
Hari ini ternyata hampir semua perekrut terutama anak-anak itu meraka hampir tidak pernah bertemu, ini yang kemudian menjadi era digital rekrutmen para kelompok radikal sekarang tidak melalui pertemuan tatap muka. Ini yang kemudian menjadi dampak negatif.
Belum lama Mabes Polri telah merilis 110 anak teradikalisasi melalui online. Ternyata ada temuan-temuan yang menarik, diantaranya pada tahapan-tahapan, anak yang berinteraksi langsung dengan gadge bisa terekrut tidak sampai 2 tahun mereka sudah menjadi pelaku destruktif lainnya. Inilah yang harus kita khawatirkan.
Dari acara ini kita inginkan adalah agar membangun kesadaran agar mempunyai kepedulian terhadap anak-anaknya karena hampir 85 persen orang tua tidak tahu apa yang diakses anak, karena memang seperti itu kenyataannya. Maka orang tua dituntut lebih perhatian lagi apa yang diakses , karena akan berpengaruh pada kepribadian yang.
Kita terakhir dari 30 anak yang terbaca algoritmanya bahwa mereka terjebak pada pornografi, pelecehan seksual hingga korban bukying yang mana butuh validitas. Selain itu juga faktor kesepian hingga perceraian juga menjadi penyebabnya.
“Dari temuan kami terhadap 30 anak, algoritma sudah terbaca bahwa mereka terjebak pada pornografi, disorientasi seksual, hingga kelompok-kelompok radikal,” ujarnya.
Selain kepedulian kita juga harus membangun komunikasi seperti menyediakan curhatkiga orang tua bisa mberikan solusi jitu bagi anak. Keluarga yang harmonis dan utuh jug komponen Masyarakat, sekolah dan konseling termasuk lingkungannya penting untuk menangkal radikalisme di era digital.
“Kebutuhan dasar anak adalah perhatian, pengakuan, dan validasi. Kalau hubungan ini terbangun, anak tidak akan mencari pelarian di ruang digital yang berisiko,” ucapnya.
Kita juga meminta kepada Komdigo agar lebih selektif membatasi dan verifikasi situs sehingga bisa tahu apa yang penting untuk anak.
“Literasi digital harus diperkuat. Pemerintah bersama para pemangku kepentingan, termasuk Kominfo dan BNPT, perlu terus hadir di ruang digital dan ruang publik untuk mengedukasi masyarakat,” tutup Sofian.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan