Oleh: Lukman Hakim
Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 merupakan kristalisasi dari kesadaran historis bahwa perjuangan yang bersifat kedaerahan tidak akan pernah mampu menumbangkan kolonialisme. Para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara bersatu, melampaui sekat suku dan agama, untuk menciptakan kontrak sosial berupa tiga janji tunggal: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia. Ini adalah manifestasi perlawanan politik dan kultural yang tegas, yang menjadi fondasi utama bagi kemerdekaan 1945. Nilai kuncinya adalah kesetiaan pd persatuan (unity) dan kesediaan untuk berkorban demi cita-cita kebangsaan.
Komitmen Sumpah Pemuda adalah pengingat abadi bahwa keberagaman (Bhinneka Tunggal Ika) adalah kekuatan fundamental, bukan ancaman. Kita wajib menegaskan kembali komitmen ini dengan menolak segala bentuk fragmentasi dan kepentingan kelompok sempit. Bahasa Indonesia harus terus dirawat sebagai alat pemersatu, dan semangat kolaborasi harus menjadi napas dalam setiap interaksi lintas budaya dan daerah.
Konteks Kekinian: Melawan Penindasan Bangsa Sendiri dan Hambatan Kepeloporan
Jika dulu musuh nersamanya adalah kolonialisme asing, kini kita dihadapkan pada musuh “yang tak terlihat” dan lebih sulit karena dilakukan oleh bangsa sendiri, penindasan internal berupa praktik koruptif, keserakahan, dan kebijakan yang tidak adil yang dilakukan oleh sesama anak bangsa. Peringatan Sumpah Pemuda tidak boleh hanya menjadi jargon kosong atau alat legitimasi kekuasaan melalui nasionalisme sempit yang menafikan masalah internal.
Ironisnya, semangat kepeloporan pemuda kini menghadapi tantangan serius:
Pertama, subordinasi elit, Pemuda seringkali hanya menjadi subordinat kaum elit atau para seniornya, sehingga kehilangan independensi dan daya kritis.
Kedua, entitas legitimasi, organisasi pemuda sering dijadikan entitas legitimasi bagi kepentingan elit tertentu, jauh dari peran sebagai agen perubahan yang mandiri.
Ketiga, terlibat konflik horisontal, Pemuda bahkan sering dijadikan alat untuk menjaga kepentingan modal (ceteng) yang justru memicu konflik horisontal di tengah masyarakat, praktik premanisme ini menggerus persatuan yang telah diperjuangkan.
Ke empat, minim literasi, daya kritis melemah karena minimnya literasi di tengah membanjirnya arus informasi, membuat pemuda mudah dipecah-belah dan dimanipulasi oleh hoaks.
Untuk mengaktualisasikan “Api” Sumpah Pemuda dan mengatasi hambatan-hambatan di atas, diperlukan langkah strategis dan aksi nyata dari generasi muda, yang didukung oleh jaminan dari negara. Dalam hal ini negara wajib memberikan kebebasan bagi generasi muda untuk mempelajari sejarah dengan objektif dan benar, tanpa distorsi, dengan tetap mengedepankan nilai-nilai luhur bangsa yang termaktub dalam Konstitusi dan Pancasila. Ini penting untuk menumbuhkan nasionalisme berbasis etika dan akal sehat.
Kemudian aksi nyata Kepeloporan Pemuda, maka Pemuda harus bertransformasi dari sekadar objek politik menjadi subjek perubahan melalui:
– Membangun Independensi dan Kritis Pemuda dapat membentuk Youth Policy Watch, kelompok independen yang secara rutin mengkaji dan mengaudit kebijakan publik serta menyuarakan temuan secara terbuka. Selain itu, inisiatif seperti Kampanye #MudaTanpaBeking #KaumMudaBukanCenteng dll, dapat mempromosikan pemimpin muda yang bersih dari kepentingan oligarki.
– Mengawal Keadilan Sosial Pemuda perlu aktif dalam Aksi Solidaritas Lintas Sektoral dengan mengorganisir pendampingan atau advokasi bagi petani atau masyarakat adat yang terancam oleh kepentingan modal besar, sehingga konflik diarahkan pada akar masalah struktural, bukan pada masyarakat.
– Meningkatkan Literasi Melawan Hoaks Pemuda harus aktif membangun budaya literasi kritis dengan membentuk Program Cek Fakta Komunitas dan mengadakan Kelas Pendidikan Kritis tentang literasi digital dan etika berinternet, untuk menjaga kesatuan gagasan di ruang digital.
– Menjaga Integritas Anti-Korupsi Mendorong dan melindungi pemuda whistleblower di instansi atau perusahaan, didukung oleh inisiatif-inisiatif transparansi lokal untuk memantau penggunaan anggaran desa/daerah secara massif. Ini adalah wujud nyata dari sikap rela berkorban demi keadilan.
Dengan demikian, Sumpah Pemuda di masa kini adalah panggilan untuk perjuangan intelektual, etis, dan sosial-politik demi mewujudkan Indonesia di masa datang yang adil dan berdaulat seutuhnya, di mana semangat kepeloporan pemuda dapat bersinar terang.
Penulis adalah Aktifis PRD, Analis Kedai Ide Pancasila



Tinggalkan Balasan