Oleh : Lukman Hakim

Istilah “anarko” di Indonesia selalu identik dengan vandalisme, kekacauan, dan kerusuhan saat demonstrasi. Label ini, yang secara sistematis dipopulerkan media dan narasi resmi negara, maupun pihak yang mempunyai kuasa, telah menutupi fakta bahwa anarkisme sejatinya adalah sebuah filosofi politik yang kaya, kompleks, dan memiliki sejarah panjang dalam perjuangan melawan penindasan. Di Indonesia Anarkisme sudah lama menjadi bagian dari dinamika politik buruh Indonesia, bukan sekadar impor baru. Khususnya anarko-sindikalisme adalah bagian dari keragaman gerakan kiri Indonesia pada masa kolonial dan pergerakan kemerdekaan, sebelum didominasi Komunisme dan dikubur oleh Orde Baru.

Dalam era keterbukaan dan kebebasan sekarang ini kita dimungkinkan untuk mempelajari sesuatu dengan lebih komprehensif dan mendalam atas suatu ide dan pemikiran serta tindakan masyarakat dalam setiap peristiwa sejarah. Kemudian dipadukan dengan perkembangan masyarakat dan peradaban masa kini, membandingkan serta menganalisis untuk mencari ide positifnya sehingga dapat meletakkannya secara konseptual dan kontekstual. Termasuk soal anarko atau anarkisme, mesti kita bedah secara jujur: bagaimana nilai-nilai etis dari ideologi anarkisme dapat beresonansi dengan cita-cita luhur Pancasila dalam konteks perjuangan menuju keadilan dan kesejahteraan sejati di Indonesia, atau memang bertentangan sama sekali?

Distorsi Makna
Di Indonesia, istilah ini disempitkan hanya menjadi “kekacauan” (seperti termuat dalam KBBI), sebuah label politik yang efektif digunakan untuk mendelegitimasi setiap gerakan perlawanan radikal –sebuah kata yang sama nasibnya dengan anarkisme dalam pemahaman masyarakat Indonesia.

Secara etimologis, “anarki” berasal dari bahasa Yunani an−(tanpa) dan archos (penguasa), yang berarti “tanpa penguasa” atau “tanpa otoritas.” Anarkisme adalah filsafat politik yang meyakini masyarakat dapat terorganisir secara damai melalui asosiasi sukarela dan kerja sama bebas (mutual aid), bukan melalui paksaan negara. Anarki adalah kondisi masyarakat ideal tanpa adanya negara atau hierarki yang bersifat koersif.

Alexander Berkman dalam karyanya What is Communist Anarchism? (1929) mengatakan:
“Anarchism is not bombs, disorder, or chaos. It is not robbery and murder. It is not a war of all against all. Nor is it a return to barbarism or the wild state of man. Anarchism is the very reverse of all that.”

Maka, distorsi makna ini harus abaikan untuk melihat nilai inti ideologi anarkisme yaitu penolakan terhadap semua bentuk dominasi dan penindasan.

Kontradiksi Mutlak: Garis Anti-Negara
Secara struktural dan politis, ideologi anarkisme dan Pancasila berada pada posisi yang saling bertentangan. Terutama dalam hal ; anarkisme menuntut penghapusan total Negara Kesatuan Republik Indonesia dan segala instrumen otoritasnya (hukum, militer, birokrasi). Sebaliknya, Pancasila berfungsi sebagai dasar filosofis yang menguatkan dan menuntun eksistensi negara tersebut.

Kontradiksi ini paling jelas terlihat pada Sila ke-4 (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan). Anarkis menolak sistem perwakilan (demokrasi elektoral) dan hierarki politik, karena mereka percaya bahwa kekuasaan, dalam bentuk apa pun, pada akhirnya akan merusak dan menindas.

Mereka menuntut kedaulatan langsung di tingkat individu dan komunitas. Maka, sebagai ideologi politik, anarkisme tidak mungkin bersinergi atau diakui secara resmi dalam kerangka NKRI. Namun Pierre-Joseph Proudhon, dalam What is Property? (1994) menyoroti bahwa anarki merujuk pada ketiadaan penguasa (archos), bukan ketiadaan keteraturan. Bagaimana jika sila keempat itu dilaksanakan dengan sebenarbenarnya sehingga bener-benar menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara yang teratur?

Resonansi nilai kemanusiaan, gotong-royong dan keadilan sosial Sinergi yang sesungguhnya dapat muncul ketika kita memandang anarkisme sebagai alat kritik moral yang radikal untuk mewujudkan cita-cita ideal Pancasila yang sering kali gagal dipenuhi oleh negara. Karena sesungguhnya anarkisme tidak akan hidup dalam alam masyarakat yang adil dan sejahtera. Ia hanya akan muncul alami ketika ketidakadilan terus menerus mendesak dan mengancam kehidupan rakyat. Dalam masa kolonial para pendahulu kita juga melakukan perlawanan keras yang diberi stigma anarkis oleh penguasa waktu itu.

Kemudian, sejatinya anarkisme adalah pembela martabat manusia yang paling keras. Prinsip Anti-Otoritarianisme dalam anarkis beresonansi kuat dengan Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Di mana anarkisme secara total menolak segala bentuk pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kekerasan oleh aparatur negara. Kritik ini mendorong tuntutan agar negara benar-benar menjadi pelindung, bukan penindas.

Anarkisme juga menuntut kesetaraan absolut, ia menolak hierarki yang menciptakan diskriminasi (ras, gender, kelas), sejalan dengan pengakuan persamaan derajat dan martabat manusia.

Seorang tokoh anarkis seperti Peter Kropotkin menempatkan gotong royong sebagai pilar utama masyarakat, ia menyebut sebagai mutual aid dalam konsep anarkisme.

Konsep ini selaras dengan semangat Persatuan Indonesia yang seharusnya dibangun dari solidaritas sosial, kesamaan nasib dan federasi bebas komunitas otonom, bukan persatuan yang dipaksakan dari pusat)

Anarkisme, khususnya Anarko-Sindikalisme, adalah kritik paling tegas terhadap kapitalisme dan eksploitasi ekonomi—yang disebut sebagai akar ketidakadilan. Tuntutan penghapusan eksploitasi ini menjadi energi radikal untuk merealisasikan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sila ke-5), memaksa negara untuk menunaikan janji Proklamasi Kemerdekaan.

Dalam konteks demokrasi Indonesia, ideologi anarkisme tidak bisa menjadi bagian dari tatanan politik yang sah, namun gerakan dan nilai etis anarko dapat menjadi “kompas moral” yang ekstrem. Dalam sejarahnya, ia akan muncul sebagai indikasi ketidakadilan sudah akut, moral penguasa sudah keterlaluan.

Jadi, tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, gerakan yang mengadopsi taktik aksi langsung ala anarko dan prinsip gotong royong berfungsi sebagai oposisi etis— sebuah suara kritis yang menolak birokrasi dan ketidakadilan yang dilembagakan.

Dengan mendekonstruksi stigma anarkis sebagai “kekacauan,” kita dapat melihat bahwa prinsip anti-penindasan anarkisme adalah dorongan yang vital bagi Indonesia untuk benar-benar mewujudkan cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan Pancasila: sebuah masyarakat yang seutuhnya adil, beradab, dan sejahtera, bebas dari setiap bentuk dominasi, ketidakadilan dan penindasan.

Ini adalah tantangan bangsa ini untuk merekonstruksikan gerakan sosial sebagai bentuk penyeimbang yang produktif bagi kehidupan sosial politik demi kemajuan bangsa. Tantangan pula untuk para aktivis anarko di Indonesia untuk mampu meletakan nilai-nilai perjuangannya dalam nilai-nilai luhur bangsa dan koridor sejarah perjuangan bangsa Indonesia meraih cita-cita proklamasi kemerdekaan.