Jakarta – Raja Ampat, mutiara pariwisata bahari Indonesia, kini menghadapi tantangan serius. Konflik antara izin pertambangan nikel dan komitmen konservasi alam serta kesejahteraan masyarakat lokal terus memanas, memicu berbagai desakan dan usulan solusi dari berbagai pihak.

Pemerintah Cabut Sebagian IUP, Sorotan ke PT Gag Nikel

Pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM telah mengambil langkah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang dinilai tidak memenuhi standar lingkungan atau tidak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025. Namun, sorotan tajam kini tertuju pada PT Gag Nikel, anak perusahaan BUMN PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Antam), yang masih diizinkan beroperasi di Pulau Gag. Meskipun pemerintah mengklaim PT Gag Nikel beroperasi sesuai AMDAL dan memiliki Konsesi Kontrak Karya (KK) hingga 2047, keberadaannya tetap menjadi kontroversi besar. Bareskrim Polri pun dikabarkan akan mengusut dugaan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan yang IUP-nya telah dicabut.

Tawaran Solusi
Ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah ini disuarakan lantang oleh tokoh muda Raja Ampat. Charles Imbir, Direktur Institute USBA, menyampaikan kritik pedas dan beberapa usulan solusi:

1. PT Gag Nikel Harus Dicabut IUP-nya: “Karena PT Gag Nikel adalah BUMN, mengapa negara tidak juga mencabut IUP-nya? Harusnya negara memberi contoh tentang ketaatan hukum,” tegas Charles. Ia menekankan bahwa negara harus menjadi teladan dalam penegakan hukum.

2. Penutupan Total Seluruh Tambang: Charles Imbir secara lugas menyatakan, “Undang-undang melarang adanya aktivitas tambang di pulau-pulau kecil, maka semuanya harus ditutup. Kalau tidak, berarti negara melanggar hukum.”

3. Sudah sejak lama pula bahwa Masyarakat adat sudah bersepakat Raja Ampat hanya untuk pariwisata.

4. Pemberdayaan Ekonomi Berkelanjutan: Charles juga menyerukan agar ada solusi konkret untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Ia mengusulkan fokus pada aktivitas ekonomi berkelanjutan di sektor pariwisata, perikanan, dan lainnya, sebagai alternatif dari tambang.

5. Musyawarah Adat: “Perlu diadakan musyawarah bersama masyarakat adat di Raja Ampat untuk membahas masalah dan mencari solusi bersama dalam membangun Raja Ampat yang berkeadilan, ramah lingkungan, dan berkelanjutan,” usulnya.

6. Dalam kerangka otonomi khusus ( otsus) papua, dan perberdayaan otsus maka perlu wakil presiden republik indonesia sebagai ketua pelaksana otsus hadir dan berdialog dengan masyarakat adat raja ampat dalam rangka mencari solusi dan konsensus.

Senada dengan Charles Imbir, Donald Renato Heipon, Ketua FNPBI yang juga Ketua DPD Projo Papua Barat Daya, juga menekankan pentingnya penutupan seluruh aktivitas tambang di Raja Ampat demi menaati undang-undang. Untuk masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat penutupan tambang, Donald mengusulkan solusi konkret: “Solusi untuk masyarakat yang kehilangan pekerjaan adalah dengan memberdayakan mereka ke dalam Koperasi Merah Putih di seluruh desa yang ada.” tegas Donald. Lebih lanjut Donal juga mendesak pemerintah untuk membangun sekolah rakyat yang khusus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di Raja Ampat guna mendukung pemberdayaan rakyat. Sekarang ini di Raja Ampat hanya ada sekolah setingkat SD. “Penting juga melibatkan ibu-ibu atau orang tua dalam program MBG” tambah Donald

Untuk diketahui bahwa Undang-Undang Larangan Tambang di Pulau Kecil, dasar hukum utama yang menjadi landasan tuntutan penutupan tambang di Raja Ampat adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Secara spesifik, Pasal 35 huruf k UU tersebut dengan jelas melarang “penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya”2 dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Larangan ini semakin diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak upaya uji materiil terhadap ketentuan tersebut. Dengan demikian, MK mempertegas bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil adalah tindakan yang ilegal dan sangat berbahaya bagi lingkungan, mengingat definisi “pulau kecil” adalah pulau dengan luas sama dengan atau kurang dari 2.000 km².