Jakarta – Imparsial, lembaga yang berkecimpung dalam hak asasi manusia menyoroti dokumen daftar inventaris masalah (DIM) rancangan perubahan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam DIM tersebut salah satunya diusulkan bahwa TNI, khususnya TNI AD, diberikan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum di darat.

“Imparsial menilai usulan tersebut sangat mengancam demokrasi dan HAM serta melenceng jauh dari rel UUD NRI Tahun 1945.” tegas Imparsial dalam keterangan tertulis, hari ini (15/8/2024).

Lebih lanjut, Imparsial menjelaskan bahwa Pasal 8 huruf b dalam DIM tersebut menyebutkan “Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional”.

Pihak Imparsial memandang, perluasan peran TNI menjadi aparat penegak hukum adalah keliru dan betentangan dengan amanat Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi ”Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.” dan pasal 2 ayat 1 TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri yang berbunyi ”Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berberan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

“Penting untuk diingat raison d’etre dibentuknya militer semata-mata dibentuk sebagai alat pertahanan negara untuk menghadapi ancaman perang. Militer tidak pernah dimaksudkan untuk bertugas sebagai aparat penegak hukum. Sebaliknya militer dilatih, dididik, dipersiapkan dan dipersenjatai untuk perang. Pelibatan militer dalam penegakan hukum akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan aparat penegak hukum lain.” beber keterangan tersebut.

Imparsial juga mendesak agar DPR fokus untuk menegakan konstitusi dan TAP MPR dengan meletakkan TNI sebagai alat pertahanan negara dan bukan penegak hukum. Pihaknya berharap Baleg DPR yang sedang membahas revisi UU TNI wajib menolak usulan pasal dalam DIM yang memberikan kewenangan kepada TNI untuk terlibat dalam penegakan hukum.

“Sebagai wakil rakyat, anggota DPR harus dengan sungguh-sungguh menjalankan konstitusi dan tidak melanggar konstitusi.” cetusnya.

Selain itu, terdapat juga usulan bahwa TNI ingin menghapus larangan berbisnis bagi anggota TNI. Ketentuan ini merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI. Prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis. Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

Menurut Imparsial, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI. Penting untuk diingat bahwa, tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu.

“Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis.” tulisnya.

Sebelumnya, draft RUU TNI versi Baleg DPR RI juga mengusulkan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara. Ombudsman RI sendiri mencatat setidaknya sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Belakangan ini juga ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh.

Imparsial menilai, substansi perubahan yang diusulkan oleh TNI dan pemerintah di dalam DIM yang beredar bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tapi justru malah sebaliknya. Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI.

“Kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk pembahasan agenda revisi UU TNI. Karena selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.” pungkasnya.