Jakarta – Gerakan Umat Islam Kaffah mewanti-wanti agar rakyat Indonesia tidak tertipu dengan seruan kelompok khilafah yang memanfaatkan isu Rohingya untuk mencari simpati umat muslim Indonesia.

“Kelompok mereka (khilafah) ini memang spesialis penunggang gelap dan sengaja memprovokasi umat muslim di Indonesia terkait Rohingya,” tegas aktivis Gerakan Umat Islam Kaffah Sayuti, hari ini.

Menurutnya, kelompok khilafah ini kerap melakukan propaganda dan menunggangi kasus etnis tertentu, yang sebelumnya ada Uighur dan kini beralih ke Rohingya. Yang kemudian dikaitkan dengan sentimen agama.

“Hal ini membuat kita semakin mudah untuk menerka ke mana afiliasi mereka. Dan jawabannya tentu khilafah solusinya dalam setiap permasalahan,” ujarnya.

Kata dia, kelompok HTI yang masih kerap serukan khilafah ini memframing untuk memaksa umat muslim di Indonesia agar mau membela muslim Rohingya untuk kepentingan mereka.

“Giliran isu Palestina dan Israel mereka bungkam. Tidak ada propaganda khusus untuk bantu Palestina. Jangan-jangan propaganda mereka ini pesanan khusus untuk mengaruhi nalar masyarakat kita,” bebernya.

“Jangan mau diprovokasi oleh mereka karena adanya sentimen agama. Ingat, saudara sebangsa kita masih banyak yang harus dipedulikan. Bahkan saudara seiman kita juga masih banyak yang harus kita bantu di negeri ini.

Disisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud Md mengungkapkan, pemerintah Indonesia berhak mengusir para pengungsi Rohingya yang kini terus bertambah masuk ke wilayah NKRI. Ini karena Indonesia tidak terlibat penandatangan ratifikasi UNHCR.

Namun, ia menekankan, karena konstitusi Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan menganut prinsip diplomasi kemanusiaan, maka kebijakan untuk mengusir para pengungsi dari Rohingya itu hingga kini tidak dilakukan, dan malah ditampung.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan setiap negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 wajib menerima pengungsi dari negara transit. Dia menilai proses penempatan pengungsi di negara tujuan berjalan sangat lambat karena banyak negara tujuan menutup pintu bagi pengungsi.

Indonesia, yang tidak pernah menandatangani atau meratifikasi konvensi itu, dan bukan negara pihak baik dalam Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, sebenarnya tidak memiliki kewajiban hukum untuk menampung dan menyediakan pemukiman permanen bagi pencari suaka atau pengungsi. Namun setiap kali rombongan pengungsi tiba, Indonesia senantiasa mengulurkan tangan atas dasar kemanusiaan.

Sementara itu, Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah membeberkan alasan Indonesia tak menandatangani konvensi itu.

“RI menolak menjadi negara tujuan pengungsi,” kata Rezasyah.

Rezasyah mengatakan meski tak menjadi pihak dalam Konvensi 1951, Indonesia sudah menjadi sasaran para pengungsi.

Mereka berdatangan ke negara Indonesia, sembari menunggu arahan UNHCR untuk dipindahkan ke negara maju. Artinya, Indonesia menjadi tempat sementara bagi para pengungsi.