Semarang – Perkumpulan Perguruan Tinggi Agama Katolik Indonesia (PERPETAKI) mengadakan acara Rapat Umum Anggota, dengan mengadakan juga seminar dengan tema “Kesadaran dan Tanggung Jawab Politik”, pada hari Senin (04/12/2023), di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Rohaniwan katolik yang juga sekaligus Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, menjadi pembicara dalam seminar tersebut.
Dalam kesempatan ini, Benny, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa demokrasi Pancasila yang harusnya diikuti oleh seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan pemimpin, apa benar masih dirasakan.
“Demokrasi Pancasila, saya tanyakan, apakah masih kita rasakan? Keputusan MK, contohnya, itu menghancurkan cita-cita reformasi dan demokrasi kita, dan itu dipertontonkan dengan gamblang kepada masyarakat, seakan-akan hal itu hal yang tidak merusak tatanan dan nilai-nilai Pancasila,” serunya.
“Karena demokrasi ditabrak, sehingga konstitusi diingkari dan instrumen hukum digunakan untuk melegalkan kepentingan pribadi dan keluarga. Itu jelas-jelas merusak nilai-nilai demokrasi dan nilai keadilan di dalam Pancasila.”
Dia pun menyoroti bantuan-bantuan sosial yang bisa menjadi kamuflase sebagai sarana ‘penyandera’ masyarakat.
“Politik bansos, itu dipakai untuk menyogok masyarakat, sehingga masyarakat disandera, merasa hutang budi, karena pembangunan infrastrukturnya, ada bantuan-bantuan sosial langsungnya, sehingga bisa masyarakat menyatakan, ‘tanpa pemimpin ini, kita akan hancur dan mundur, maka itu harus memilih yang dia tunjuk sebagai penerusnya’,” ujar Benny.
Pengamat dan pakar komunikasi politik ini pun menyatakan bahwa pemilu 2024 mendatang akan cenderung tidak menonjolkan kualitas para calon.
“(Pemilu) hanya menjadi instrumen melestarikan politik dinasti dan menggunakan kedekatan kepada kekuasaan tanpa proses.”
Benny pun mengutip mengenai lima fabrikasi mitos yang dipelihara selama bertahun-tahun oleh pemimpin dan pemerintah.
“Lima mitos yang dibuat terus menerus sehingga membuai dan menipu masyarakat kita adalah (1) mitos pemimpin dan keluarganya adalah rendah hati, orang baik, merakyat, sederhana, dan relatable dengan masyarakat luas; (2) mitos bahwa semua orang memiliki hak untuk dipilih, padahal tidak semua orang punya ‘sendok emas’ yang sama; (3) mitos sosok yang berumur muda mengerti anak-anak muda, padahal belum tentu benar, apalagi jika sosok tersebut berangkat dari kesempatan yang disodorkan, bukan hasil usaha sendiri; (4) mitos pemimpin asyik, gaul, memakai jargon-jargon yang terkenal di kalangan anak muda, padahal tidak ada gagasan dan tidak ada kedalaman dalam gagasan dan ide terhadap pembangunan negara; dan (5) mitos pemimpin netral, padahal ada kepentingan keluarga dan golongan jelas terjadi.”
Untuk menghadapi dan tidak terbuai mudah dengan mitos-mitos tersebut, Benny menyatakan agar masyarakat harus menjadi cerdas dan kritis.
“Didiklah dan jadilah pemimpin yang cerdas, tdak tidak mudah termakan isu serta gimmick yang tidak berdasar, tanpa ditelurusi dan diuji terlebih dahulu. Edukasi politik dan sejarah perjalanan bangsa ini, perbanyak informasi yang update dan relevan serta berdasar pada sumber yang terpercaya, serta uji rekam jejak, visi dan misi, serta program-program yang ditawarkan, baik partai politik, ataupun para calonnya,” jelasnya.
Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP juga menyerukan kepada para dosen-dosen di perguruan tinggi untuk menumbuhkan generasi melek dan peduli politik di kalangan mahasiswa.
“Gerakannya sudah ada, tapi masih lebih banyak anak muda yang tidak peduli. Ini mengkhawatirkan; padahal masa depan merekalah yang dipertaruhkan, kalau salah memilih pemimpin. Tugas kita, para pendidik, adalah bagaimana membuat generasi muda ini menjadi pemilih cerdas dan kritis, dengan cara-cara diatas. Kalau tidak, ya, seperti yang dikatakan orang: kita sedang menunggu bom waktu. Harga-harga sudah mahal, bahkan lebih mahal persen kenaikkannya dibanding akhir-akhir orde baru. Ini yang harus disadarkan kepada anak-anak muda.”
Di akhir paparannya, Benny mengajak agar semua elemen masyarakat tidak tinggal diam saat demokrasi dan nilai-nilai Pancasila ini dihancurkan di depan mata.
“Buat autokritik, dan strategi perlawanan; tidak dengan kekerasan, perlawanan dengan budaya, informasi, dan kesadaran dengan nyata dan kritis bahwa ini jika dibiarkan, kita masuk perangkap perusak Pancasila, dan Pancasila tidak lagi menjadi ideologi bangsa kita. Ini masalah besarnya, yang harus menjadi perhatian semua orang,” tutupnya.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan