Jakarta – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini angkat bicara terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Menurutnya putusan tersebut mayoritas bicara soal pembenaran untuk merubah pendirian hukum tetapi tidak bicara argumen kenapa alternatif selain usia itu relevan diberlakukan. Terlihat sekali vested interest dari seorang hakim ketika putusan dalam sidang berubah dalam waktu yang singkat dari putusan MK Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Putusan yang baik jadi rusak karena prosesnya ‘ugal-ugalan’, sebenarnya putusannya baik namun tidak boleh dihasilkan dari proses yang ugal-ugalan.” ujar Titi, hari ini.
Ia mengungkapkan bahwa KPU RI bermasalah. KPU dianggap tidak profesional, tidak tertib hukum, dan partisan. Menurutnya KPU perlu diberikan sanksi karena sikap yang diambil dalam menanggapi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Putusan MK merupakan putusan pengadilan harus dianggap benar sampai ada putusan pengadilan lain yang membatalkan. Seharusnya tanpa dilakukannya konsultasi oleh KPU dengan DPR serta pihak lainnya, KPU harus langsung membuat PKPU baru yang menindaklanjuti Putusan MK tersebut.” kata Titi.
Titi memberikan kesempatan MKMK untuk dapat memutus laporan yang masuk terkait laporan yang melaporkan Anwar Usman melakukan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi secara profesional dan proporsional. Karena dengan nanti diputuskannya laporan terkait pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi tidak berarti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 langsung berubah pada saat itu juga.
“Pertanyaan selanjutnya jika putusan berubah, apakah pendaftaran capres-cawapres yang dilaksanakan sebelumnya langsung dibatalkan? Hal ini tentu menjadi polemik.” kata Titi.
Menurut Titi, Indonesia tidak boleh kembali seperti dulu. Ia mengatakan bahwa saat ini banyak pandangan masyarakat terhadap pasangan Prabowo Gibran adalah rekonsiliasi pasangan Bongbong Marcos dan Sara Duterte selaku Presiden dan Wakil Presiden Filipina. Yang mana Bongbong Marcos adalah anak dari Ferdinand Marcos, Presiden Filipina yang dikenal sebagai pemimpin yang diktator dan korup. Sedangkan Sara Duterte adalah anak dari Rodrigo Duterte yang menjabat sebagai Presiden sebelumnya.
“Tentunya Pak Prabowo tidak mau dianggap sebagai Presiden Filipina saat ini yang dianggap diktator.” kata Titi.
Titi menganggap bahwa Pemilu merupakan momen masyarakat Indonesia untuk menghukum pejabat. Karena dengan pemilu masyarakat bisa menentukan bahwa pejabat yang baik bisa dipilih kembali sedangkan yang tidak baik dapat dihukum dengan tidak dipilih. Titi berpesan kepada kaum milenial bahwa anak muda jaman sekarang harus dapat menjadi creator, bukan hanya sekedan follower. Menurutnya pemilu bukan sekedar pemilu, namun sebagai ruang untuk memberikan pengaruh, dimana suara kita dihasilkan dari pemikiran, pertimbangan, dan pemahaman informasi yang bermakna.
Lebih lanjut, Titi mengatakan tantangan pada Pemilu 2024 yaitu politik uang dan pragmatisme masyarakat kita. Oleh karena itu Titi berkomitmen mendukung Polri dalam menciptakan situasi yang aman dan damai pada pelaksanaan Pemilu tahun 2024. Tidak hanya pemilu damai namun juga harus tolak politik uang dan yang terpenting tolak disinformasi yang dapat merusak pesta demokrasi tahun 2024.
“Sebagai pemilih pemula harus lebih bijak dalam menggunakan hak pilihnya, tidak boleh terpengaruh dengan politik uang dan disinformasi. Tentunya hal tersebut dalam rangka mendukung terciptanya pemilu damai tahun 2024.” ujar Titi.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan