Jakarta – Helatan pesta demokrasi lima tahunan atau Pilpres 2024 masih terbuka adanya peluang-peluang terjadinya polarisasi baik di masyarakat maupun ruang digital seperti media sosial.
Direktur Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menganalisis bahwa terbuka peluang polarisasi yang akan terjadi menjelang tahun politik saat ini semakain tajam baik secara horizontal maupun vertikal.
“Masih akan terjadi. Saya melihat semakin tajam. Bahkan, kemungkinan bisa terjadi, tidak hanya polarisasi di tingkat horizontal, tapi bisa terjadi di vertikal. Jadi, pilpres 2024 ini tinkgat polarisasi malah lebih parah dibanding sebelumnya,” kata Karyono, Senin, 6 November 2023.
Menurut Karyono, ada beberapa hal yang menyebabkan potensi terjadinya polarisasi yang kian tajam dibanding tahun sebelumnya. “Begini, kalau dulu, memang hanya ada dua pasangan, head to head Jokowi versus Prabowo. Polarisasi terjadi, tapi saat itu, polarisasi dipicu oleh paling banyak SARA, atau politik identitas. Nah 2024 menurut saya, politisasi sara makin mengendor, tak semasif dulu,” kata Karyono.
“Tapi, bukan berarti konflik mereda, apa yang terjadi sekarang adalah nasionalis versus nasionalis karena presiden yang dianggap sudah berbeda dengan partai sendiri, PDIP, putra Jokowi jadi pasangan Prabowo,” sambung Karyono.
Ditegaskan alumni GMNI ini, polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat cawapres juga menjadi salah satu masalah yang banyak disayangkan para pihak terutama kelompok nasionalis.
“Tokoh-tokoh nasional marah, baik yang mendukung, jadi kemarahan ini bisa memuncuak. Maka sekarang wacana people power menggema di ruang publik. Itu tak terjadi di pilpres dulu. Sekarang banyak protes, menurun tingkat kepercayan publik terhadap pemerintah dan lembaga lain, itu jadi salah satu potensi ancaman yang harus dibaca,” katanya.
“Apalagi sekarang ini juga terjadi masalah Palestina. Bisa jadi ancaman, isu untuk pemilu, jadi komoditas isu dalam dinamika pemilu, sehingga politik identitas akan menguat kembali,” jelasnya.
Lebih lanjut, jika tak ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), polarisasi mungkin tak akan setajam seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya.
“Jadi, satu sisi SARA masih berjalan, di sisi lain ada kekecawaan dari PDIP terhadap sikap Pak Jokowi dan Gibran. Ini polarisasi akan terjadi secara horizontal dan vertikal, lebih besar potensi ancamannya. Terjadi segregasi sosial. Jadi, makin retak. Kalau dulu dibelah, ini dicacah,” ungkapnya.
Karyono menjelaskan, salah satu faktor terjadinya polarisasi yang kian tajam yakni masifnya hoaks, ujaran kebencian hingga politisasi buzzer di ruang-ruang digital seperti media sosial. Hal ini menurutnya harus segera diantisipasi.
“Kalau 2019 cebong kampret, 2024 mungkin apa. Polarisasi bukan semakin hilang, justru menjadi makin tajam, makin meluas. Nah ini, peran media sosial sengaja dikapitalisasi untuk kepentingan politik sehingga nanti ruang maya itu atensinya makin naik, saling serang,” jelasnya.
Kendati demikian, Karyono juga mengajak semua pihak untuk membangun komitmen secara bersama-sama dalam menghadapi pemilu dengan menghindari propaganda provokatif, kampanye hitam, yang dapat merusak kualitas demokrasi saat ini.
“Pertama, harus ada komitmen bersama, fakta integritas dari peserta pemilu untuk menghindari propaganda atau black campaign yang bisa merusak kualitas demokrasi kita, bisa merusak persatuan, jadi perlu integritas,” jelasnya.
Kedua, lanjut dia, adalah penegakan hukum. Hal itu dinilainya dapat menimbulkan efek jera. Kalau itu kaitannya dengan media sosial, punya sistem yang tegas untuk menutup website yang menebar hoaks dan lain sebagainya.
“Tentu yang penting adalah literasi penggunaan media sosial. Ini yang penting, sosialisasi. Sosialisasi terkait penting harus diselenggarakan. Semakin banyak orang tahu tentang aturan melaksanakan pemilu dengan jujur adil, bahwa beda pilihan itu boleh saja, asal tak sampai bermusuhan,” kata Karyono.
Karyono menyatakan bahwa pentingnya membangun narasi yang tujuannya untuk penggunaan media sosial penuh tanggung jawab. “Memang sudah ada, tapi sosialisasi masih kurang massif, begitu juga terkait regulasi, sehingga jika masyarakat sudah aware, maka ketika ada propaganda, mereka tak terpengaruh. Referensi itu penting,” tegasnya.
“Kurang referensi akan mudah terbawa arus. Semua lapisan harus punya kesadaran terhadap pelaksanaan pemilu yang demokratis dan memersatukan, bukan yang membelah. Itulah upaya pencegahan. Terakhir adalah inovasi,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan