JAKARTA – Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara dan TPDI, Petrus Salestinus menilai saat ini ada banyak pihak yang mencoba menekan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak melanjutkan penyidikan dugaan korupsi Formula E yang melibatkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan.

Menurut Petrus, hal itu seperti yang terlihat dalam pandangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva yang mengatakan bahwa perhelatan Formula E, sangat sederhana karena dugaan korupsi pada Formula E-pun dengan mudah dan sederhana dapat dibaca oleh publik, tanpa memerlukan metode yang rumit untuk menilai adanya tindak pidana korupsi.

“Menurut saya pandangan seperti itu merupakan pandangan yang subyektif dan sekedar membela untuk memuluskan pencapresan Anies Baswedan. Apalagi akhir-akhir ini yang menilai bahwa tidak ada yang salah dengan penyelenggaraan Formula E semakin ramai,” ujar Petrus, Kamis, 10 November 2022.

Ada juga pandangan dari Soemardjijo yang mengaku dirinya sebagai pakar Keuangan Negara, berpendapat bahwa pemeriksaan Anies Baswedan di KPK tidak sesuai dengan Hukum yang berlaku, alasannya, penyusunan, pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara itu masuk dalam kewenangan BPK RI.

“Pandangan Soemardjijo ini adalah sesat dan cenderung membodohi atau mau pamer kebodohan di hadapan publik, karena menurut UU Keuangan Negara, bahwa yang bertanggung jawab dalam penyusunan, pengelolaan dan tanggung jawab atas Keuangan Negara adalah Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/ Bupati/Walikota dan bukan BPK RI,” katanya.

Sementara jika dilihat dari aspek UU Keuangan Negara, maka, Gubernur DKI Anies Baswedan merupakan Kepala Pemerintahan Daerah yang diserahi tugas oleh Presiden untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan untuk mencapai tujuan bernegara sesuai asal 6 dan 7 UU Keuangan Negara.

“Dengan posisi itu, siapapun pejabatnya yang terbukti melakukan penyimpangan pada penyelenggaraan Formula E, maka Anies Baswedan menjadi orang pertama yang dimintai pertanggung- jawaban pidana bahkan berpotensi menjadi tersangka,” katanya.

Petrus yakin pertanggungjawaban pidana bakal dimintai KPK terhadap Anies Baswedan, karena ketentuan pasal 34 UU Tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/ Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU APBN/Perda tentang APBD, diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai ketentuan UU.

Bahkan, sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif, KPK diberi tugas dan wewenang untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan cara koordinasi, supervisi, minitor dengan meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan korupsi pada instansi terkait (BPK, BPKP, Inspektorat, Akuntan Publik dll.) dan melalukan penyidikan dan penuntutan terhadap tipikor

“Oleh karena itu pandangan Soemardjijo bahwa pemeriksaan oleh KPK hanya dilakukan ketika BPK mengeluarkan SK kerugian negara, adalah menyesatkan, karena tugas KPK dalam penyidikan dan penuntutan tidak bergantung kepada BPK, karena masih ada BPKP, Akuntan Publik, Inspektorat bahkan ada Auditor intetnal di KPK,” katanya.

Petrus merangkum setidaknya ada 4 pandangan sesat yang dikatakan Soemardjijo.

Pertama, pemeriksaan KPK hanya dilakukan ketika BPK mengeluarkan SK Kerugian Negara. Kedua, aparat penegak hukum tidak boleh melampaui masuk ke sana dan tidak boleh menentukan kalau belum ada statement dari BPK. Ketiga, selama laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK tidak menunjukkan adanya kerugian negara, aparat penegak hukum tidak dapat melakukan pemeriksaan.

“Keempat dia berpendapat setelah hasil LHP mengatakan perlu pemeriksaan dengan tujuan tertentu, baru BPK mengeluarkan SK, bentuk tim. Itu baru diserahkan ke penyidik, ini silakan periksa,” katanya.

Padahal menurut Petrus, sesuai dengan UU, KPK bekerja berdasarkan Laporan Masyarakat, Laporan BPK RI, Laporan BPKP, Inspektorat, Akuntan Publik dll, termasuk dari DPR dan DPRD, terkait dugaan tindak pidana korupsi, dengan tetap menjaga independensnya. Artinya LHP BPK itu nilainya setara dengan Laporan Masyarakat kepada KPK.

Dalam kasus Formula E, KPK melalukan penyelidikan berdasarkan Laporan Masyarakat dan/atau laporan DPRD DKI sebagai representasi warga Jakarta, bahwa ada dugaan telah terjadi penyimpangan dalam pengelolaan APBD untuk proyek Formula E. 

“Sementara pihak Jakpro mendeclare bahwa Formula E meraup untung sebesar Rp 6 miliar rupiah biarlah dijadikan bahan bagi Anies Baswedan untuk membela diri dan posisi KPK menunggu dan menilai kebenarannya,” jelasnya.

Temukan juga kami di Google News.