Jakarta – Studi Demokrasi Rakyat (SDR) memberikan pernyataan menohok adanya manuver pembelaan dua bekas pimpinan KPK Saut Situmorang dan Bambang Widjojanto (BW) yang membela Anies Baswedan yang kini terseret pusaran kasus dugaan korupsi Formula E.

“Sudah pasti dalam hal ini, Saut Situmorang menjadi pembela Tuan Anies Rasyid Baswedan (ARB). Pointnya yang tidak suka akan KPK RI melakukan penyelidikan Formula E dan Anies Baswedan yaitu kelompok yang tidak suka dengan revisi UU KPK No 19 tahun 2019 dan kelompok tidak suka dan gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK),” tegas Direktur Eksekutif SDR Hari Purwanto, hari ini.

Sehingga, lanjut Hari, disaat persoalan KPK RI bekerja sebagai lembaga hukum, kini dicoba ditarik ke ranah politik. Dia menilai aneh jika masih ada orang bersembunyi dan mengatakan bahwa korupsi itu harus ada uang yang diambil oleh pelaku.

“Kalaupun ada pelaku yang ambil uang negara mana ada koruptor mengaku. Kalau koruptor mengaku tentunya KPK RI tidak perlu melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penjara pasti antri dan over kapasitas,” jelasnya.

Di Kanal Novel Baswedan, BW unjuk gigi “telikung” Anies

Hari juga menyoroti sepak terjang Bambang Widjojanto (BW) yang menantang lembaga antirasuah membuka rekaman proses dan hasil gelar perkara atau ekspose penyelidikan Formula E. BW menyebut KPK harus menjawab tudingan perihal paksaan meningkatkan status Formula E ke tahap penyidikan dan menetapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai tersangka.

Pernyataan ini disampaikan di Kanal Youtube milik mantan pegawai KPK Novel Baswedan. Saat ini Novel menjadi ASN Polri setelah sebelumnya dinyatakan tidak layak menjadi pegawai KPK.

Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) menilai pernyataan BW itu naif sekaligus aneh.

“Baru pertama kali saya dengar, ada mantan pimpinan lembaga penegak hukum meminta proses penyelidikan dan ekspos dibuka saat kasusnya masih berjalan. Apakah BW dan NB lupa dengan prosedur penyelidikan atau memang selama ini tidak pernah tahu?” ujar Hari.

Tak heran, ditambahkan oleh Hari, keduanya bermasalah dengan hukum saat masih di KPK. Bambang Widjoyanto Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (2011-2015) pada 23 Januari 2015, Bambang Widjojanto ditangkap oleh Bareskrim Polri terkait kasus keterangan palsu soal penanganan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tahun 2010. Saat itu dia dikenakan Pasal 242 juncto pasal 55 KUHP.

Sementara Novel Baswedan pernah menjadi tersangka terkait kasus tindak penganiayaan pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004. Kasusnya dihentikan karena daluwarsa kasus tersebut. Kasus itu terjadi pada 18 Februari 2004. Kemudian, sesuai Pasal 79 KUHP yang menyebutkan kalau ancaman terhadap seseorang tiga tahun penjara maka kedaluwarsanya 12 tahun.

“Melihat track record tersebut kredibilitas keduanya layak dipertanyakan saat bicara prosedur hukum yang tengah dijalankan oleh lembaga penegak hukum seperti KPK. Apalagi, dasar pijaknya hanya kabar burung tentang ekspos penyelidikan. Bukankah hal yang wajar jika KPK saat penyelidikan melakukan ekspos demi ekspos sampai tiba pada kesimpulan apakah kasus ini kayak disidik atau dihentikan?,” beber Hari.

Sekedar mengingatkan, lanjut Hari, KPK melakukan penyelidikan kasus Pelindo 2 lebih dari dua tahun. Sebelum akhirnya diputus bersalah secara inkrah oleh mahkamah Agung.

“Kalau memang mau mendengar ekspos penyelidikan, mungkin kasus ini lebih cocok sebagai pembelajaran bagi mahasiswa fakultas hukum. bagaimana konstruksi sebuah kasus dibentuk,” ujarnya.

Terlepas dari hak tersebut, Hari menemukan hal menarik, keduanya membantu publik membuka Kasus Formula E yang selama ini tertutup untuk publik. “Kami menemukan sejumlah fakta menarik yang selama ini merupakan missing link dalam berkas laporan kmai ke KPK,” ujarnya.

Temuan paling menarik, menurutnya, adalah adanya intallment fee dalam kontrak Formula E.

“Perlu diingat, selama ini Anies dan pasukannya hanya mengenal Commitment Fee. Apakah Installment Fee dan Commitment Fee ini adalah binatang yang sama? Biarkan KPK yang mengungkapnya.” ucap dia.

Selain itu, BW juga membuka proses Formula E.

“Terlihat BW mengambil konklusi AB tidak bersalah karena sudah disetujui DPRD. Apakah BW dan NB lupa berapa banyak kasus yang diungkap KPK yang melibatkan Eksekutif dan Legslatif?” ujar Hari.

“Sebagai sesama aktifis, saya menghormati Mas BW. Saya tidak percaya jika dia tidak paham atau tidak tahu seluk beluk KPK. Termasuk berapa banyak kasus yang melibatkan eksekutif dan legislatif. Tetapi tidak sopan rasanya kalau saya mencurigai Mas BW sengaja menelikung Anies. Untuk itu, saya sarankan Mas BW sebagai penasihat hukum Anies fokus pada pembuktian hukum. Urusan politisasi KPK biar menjadi urusan LSM dan Tim Sukses,” tandasnya.

KPK RI Ditangan Firli Bahuri Bekerja Untuk Penegakan Hukum & Jangan Dipolitisasi

KPK RI kembali menjadi sorotan ketika pengusutan dan penyelidikan dugaan korupsi Formula E yang berawal dari laporan masyarakat. Pada September 2021, ada kelompok masyarakat yang melaporkan Anies Baswedan ke KPK atas kasus dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E.

Mereka menilai penyelenggaraan balap mobil listrik tersebut tidak masuk akal karena Pemprov DKI tetap membayarkan biaya komitmen (commitment fee) kepada penyelenggara di tengah situasi pandemi Covid-19. KPK pun menindaklanjuti laporan dan diketahui telah mengumpulkan keterangan dugaan korupsi Formula E sejak 4 November 2021.

“Sejak Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dipanggil sebagai saksi dan diperiksa oleh KPK RI selama 11 jam, dimulai lah negatif opini dan mempertanyakan cara kerja KPK RI dan lucunya yang mempertanyakan adalah eks komisioner yang pernah menjabat di KPK RI. Yang namanya Eks/Mantan Komisioner KPK RI, tentunya memahami bahwa semua proses yang terjadi di KPK RI adalah proses hukum. Sudah begitu banyak perkara yang dituntaskan oleh KPK RI juga menggunakan syarat, prosedur dan mekanisme yang standar sama, tidak ada yang berbeda,” jelasnya.

Bahkan, tambah Hari, sejak 6 januari 2022 sd 25 september 2022 sudah 106 tersangka korupsi ditahan oleh KPK RI dengan proses dan mekanisme penegakan hukum yang sama. Seluruh proses juga sama dg perkara lain dan itu proses hukum.

“Jadi kalau ada yang membangun opini, kita patut dan harus curiga jangan-jangan dia bekerja sesuai pesanan dan mengikuti operator atau bisa jadi mereka adalah pihak yang bertindak sebagai juru penyelamat dan operator. Supaya penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga bebas lepas dari jeratan hukum. Dan Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK RI tetap bekerja untuk penegakan hukum sesuai UU No 19 Tahun 2019,” pungkasnya.