Jakarta – Sejumlah pengurus PPP yang mendatangi Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, Sabtu (28/5/2022).

Pasalnya, mereka bersilaturahim menyampaikan unek-unek soal kondisi internal PPP dan mengaku bahwa internal Partai berlambang Ka’bah itu dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Wakil Ketua Dewan Pakar PPP Anwar Sanusi mengatakan dari tahun ke tahun kursi PPP di parlemen semakin sedikit. Menurut dia hal itu terjadi akibat faktor kepemimpinan di partai berlambang kakbah itu.

Disisi lain, sang Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa juga sedang permasalahan internal keluarga, dihantam prahara rumah tangga dan kini mengalami dua kali perceraian.

Pengamat Politik Hari Purwanto angkat bicara terkait nasib PPP menuju 2024. Kata dia, perlu kekuatan maksimal mengkonsolidasi, meskipun PPP sebagai Partai Islam yang cukup lama namun memerlukan sosok ketokohan yang pas dan tepat untuk diminati pemilih agar tidak mengalami keterpurukan.

“Apalagi kemudahan teknologi dan informasi yang mudah didapat saat ini menjadikan pemilih partai lebih realistis untuk dijadikan pilihan jika partai sering turun ke bawah,” tegas Hari Purwanto, hari ini.

Menurut Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), kejayaan PPP bertahan dari 1999 hingga 2004. Setelah itu, perolehan kursi legislatif PPP menurun dari 58 menjadi 38 kursi pada Pemilu 2009. Saat itu, PPP dipimpin oleh mantan Menteri Agama Suryadharma Ali. Suara PPP semakin menurun kala pimpinan partai terjerat kasus korupsi. Hingga puncak ‘bencana’ terjadi pada Pemilu 2019, saat PPP hanya memperoleh 19 kursi DPR.

“Tsunami politik yang tak pernah terduga sebelumnya pun terjadi. Ketika Ketua Umum PPP hasil Muktamar Islah pada 2016 Muhammad Romahurmuziy (Rommy) tertangkap dalam suatu operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK di Surabaya, Jawa Timur. Kasus Rommy yang terungkap beberapa saat menjelang Pemilu 2019, benar-benar menjadi pukulan berat dan bahkan bencana bagi partai ini,” bebernya.

Kata dia, sumber konflik kepemimpinan di dalam tubuh PPP dipicu oleh melembaganya kepemimpinan otoriter yang mengabaikan watak dan karakter dasar partai sebagai partai umat yang egaliter.

Jadi, ia berpesan untuk membangkitkan suara PPP perlu kecerdasan kader-kader PPP membaca arah perubahan sosial politik bangsa kita ke depan agar PPP dan basis massa Islam lebih responsif dan antisipatif menghadapinya.

“Dan perlu merumuskan kembali format baru dan esensi kehadiran PPP di dalam negara nasional yang berlandaskan Pancasila,” sambungnya.

Ia juga melanjutkan jika dirasa perlu bagi kader-kader PPP menggantikan Suharso atas dasar evaluasi dari semua sisi baik internal dan eksternal. Penunjukkan La Nyalla sebagai capres oleh kader PPP tentunya karena persiapan kondisi PPP menuju 2024. Tentunya dinamika PPP diperlukan untuk menaikkan elektabilitas suara PPP.

“Pergantian Suharso dirasa perlu jika memang disepakati oleh kader- kader pusat maupun daerah PPP dengan tujuan meningkatkan suara PPP,” kata dia.

“Apalagi Ketum PPP dianggap terlalu sibuk menyelesaikan urusan pribadi dibandingkan kebutuhan PPP yang memerlukan energi ekstra menghadapi pertarungan demokrasi pemilu 2024,” pungkasnya.