Jakarta – Babak pertama kasus Formula E muncul setelah KPK melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi termasuk Gubernur Anies Baswedan.

Penyelidikan terhadap Anies tersebut dilakukan KPK, jauh sebelum eks gubernur DKI Jakarta itu ditetapkan Partai Nasdem sebagai Bakal Calon (Bacalon) Presiden untuk Pemilu 2024 yang akan datang. Bahkan jika dihubungkan dengan mekanisme pencalonan bakal calon presiden ternyata masih jauh kira-kira tahun 2023 yang akan datang.

Begitu dibeberkan Guru Besar ilmu hukum Universitas Padjadjaran, Profesor Romli Atmasasmita, hari ini.

“Nah, sejak Koran Tempo memberitakan informasi sesat yang dikaitkan dengan saya (red – Profesor Romli Atmasasmita), saat itulah muncul banyak kritik, cacian, fitnah dan hoax terkait pemeriksaan KPK dan khususnya saya sebagai ahli dari KPK,” ujarnya.

“Pengeritik dan pengusung hoax dan fitnah telah ‘kebakaran jenggot’ ketika mengetahui calon presiden yang diunggulkan terlibat masalah pidana dalam hubungan dengan penyelenggaraan Formula E.” sambungnya.

Profesor Romli melanjutkan, bahwa pengkritik dan penyebar hoax pun melontarkan pernyataan tidak puas KPK dengan dalih, penyelenggaraan Formula E sukses dan membawa naik bangsa Indonesia dalam ajang pertarungan Formula E.

“Para pengkritik dan penyebar hoax itu lupa, bahwa bagi hukum termasuk ahli hukum, terdapat pakem, tujuan tidak dapat digunakan untuk menghalalkan cara, singkatnya tujuan tidak dibenarkan untuk menghalalkan cara akan tetapi hukum hanya mengutamakan cara atau prosedur terbaik berdasarkan undang-undang untuk menghalalkan tujuan yang telah dicapai,” jelas Profesor Romli.

Pertanyaan Mes Rea dari Pimpinan KPK Tidak Etis

Dalam silang pendapat tersebut muncul pertanyaan yang dilontarkan oleh mantan pimpinan KPK, Saut Situmorang. Ia menanyakan mana mes rea nya dalam penyelenggaraan Formula E.

“Sekalipun pendapat/pernyataan tersebut berasal dari pimpinan KPK, tidak etis, tentunya sebagai ahli hukum wajib menjawab pertanyaan tersebut bukan atas nama KPK akan tetapi sebagai Ahli,” ujar Profesor Romli.

Dikatakannya, pertanyaan ‘mens-rea” adalah pertanyaan pelajaran awal dalam mata kuliah di semester tiga Fakultas Hukum. Di dalam setiap perkara pidana tentu yang tampak terlebih dulu adalah fakta, yaitu perbuatannya, apakah dapat dipidana atau tidak dapat dipidana? Setelah unsur-unsur pidana ditemukan di dalam perbuatan yang diduga suatu tindak pidana, barulah kemudian dalam tahap penyidikan dilakukan untuk menemukan siapa tersangkanya dan digali motif tindak pidana tersebut dilakukan.

“John Searle, dalam karya, Intentionality, An Essay in the Philsophy of mind (n 1999) menyatakan bahwa, motif adalah pikiran yang mendorong seseorang melakukan suatu perbuatan/tindak pidana dan menghendaki akibat dari perbuatannya. Dalam konteks penyelidikan dan penyidikan akan ditemukan motif dan mens-rea (unsur niat jahat) dari perbuatan,” terang Profesor Romli.

Dijelaskanya, syarat untuk menemukan mens-rea harus membaca/mempelajari fakta dari perbuatan yang diduga suatu tindak pidana, dan dengan membaca/mempelajari fakta tersebut akan ditemukan ada/tidak adanya niat untuk melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Untuk menemukan mens rea tidak cukup dengan hanya membaca berita koran saja akan tetapi harus memiliki dan menguasai seluruh fakta yang telah diperoleh dari keterangan saksi-saksi termasuk terduga.

“Mens-rea dan juga actus reus yang merupakan wujud nyata dari suatu mens rea merupakan domain penyidik termasuk penyidik KPK dan tidak dibolehkan dengan alasan transparansi dibuka ke masyarkat luas, karena secara historis dan pengalaman di negara manapun hal tersebut bersifat rahasia dan baru secara terbuka disampaikan kepada publik ketika terdakwa dan tuntutan dibacakan oleh Penuntut Umum.” tandasnya.

Aturan Hukum Acara Pidana Hasil Penyelidikan Tidak Bisa Dibuka ke Publik

Lebih lanjut Profesor Romli menjelaskan, gagasan keterbukaan harus disertai tanggung jawab dan profesionalitas karena tidaklah mungkin penyidik membuka hasil penyidikan sekalipun penyelidikan yang dipastikan akan menghambat proses pemeriksaan perkara pidana.

“Salah satu penyebabnya karena hasil penyelidikan yang dibuka ke publik akan menjadi ajang debat publik tidak berkesudahan dan pada gilirannya mendegradasi kewibawaan lembaga peradilan yang harus bebas dari pengaruh publik dan kekuasaan eksekutif dan legislatif serta demi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah,” tegas Profesor Romli.

Atas dasar hal tersebut, Profesor Romli melanjutkan, maka keinginan sementara pengamat dan ahli agar KPK membuka hasil penyelidikan ke publik sungguh tidak memahami aturan permainan berdasarkan hukum acara pidana. Sekalipun keinginan tersebut tidak dapat dipenuhi dalam proses penyelidikan mereka masih memperoleh kesempatan ketika penetapan status menjadi tersangka dimana ketentuan KUHAP memperkenankan pihak tersangka untuk mengajukan praperadilan (Pasal 77 KUHAP) dan atau mengajukan permohonan penetapan pemberhentian penyidikan dan KPK berwenang mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3).

Tujuh dari sembilan hak tersangka/terdakwa merupakan hak asasi yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun serta dijamin di dalam BAB XA UUD45.

Berdasarkan rujukan ketentuan praperadilan bagi setiap tersangka apalagi dalam tahap penyelidikan telah memperoleh jaminan perlindungan hukum dan UUD45 yang memadai di negeri ini.

“Masalah pembuktian ada tidak adanya tindak pidana korupsi dalam Kasus Formula E telah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tertanggal 25 Januari 2017 yang menyatakan antara lain bahwa dalam perkembangannya dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi,” cetus Profesor Romli.

Kerugian Negara dan Penyalahgunaan Kewenangan

Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi, suap, gratifikasi, atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.

“Dengan demikian bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan lain kerugian negara merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor,” tegas Profesor Romli.

Atas dasar itu, imbuh Profesor Romli, menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.

“Merujuk Putusan MKRI tersebut dapat disimpulkan bahwa tanpa ada kerugian keuangan negara tetapi hanya ditemukan unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang saja maka peristiwa tersebut merupakan pelanggaran administrasi bukan tindak pidana korupsi. Jika terdapat temuan kerugian keuangan negara maka telah terjadi tindak pidana korupsi. Jika dirumuskan, PMH/PGW + KN = Tipikor; PMH/PGW ” KN = bukan tindak pidana korupsi,” terang Profesor Romli.

KPK dan BPK Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab

Selanjutnya Profesor Romli mengatakan, merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tertanggal 25 Januari 2017, sangat jelas bahwa tanpa kerugian keuangan negara tidak terjadi tipikor eks Pasal 2 dan Pasal 3. Masalahnya bagaimana hubungan koordinasi antara Lembaga Penyidik dan BPK; jangan saling lempar tanggung jawab maka pedoman satu-satunya yang bersifat normatif adalah bagaimana UU mengatur tugas dan wewenang BPK dan Lembaga Penyidikan dalam hal ini, KPK.

“Tugas dan wewenang BPK di dalam UU Nomor 15 tahun 2006 antar lain adalah, memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”.

Tidak ada satupun ketentuan dalam UU BPK bahwa Lembaga Penyidik dalam hal ini KPK wajib memberitahukan hasil pemeriksaan/penyelidikan atau penyidikan lembaga tersebut kepada BPK sebagai Lembaga Audi Keuangan Negara untuk sebagai syarat dipenuhinya permintaan penyidik untuk menghitung kerugian keuangan negara.

Kedudukan BPK sekalipun Lembaga tinggi negara diberi tugas melakukan audit keuangan negara tetap saja berdasarkan UU pemberantasan tindak pidana korupsi dan UU KPK, diwajibkan menghitung ada tidaknya kerugian negara dalam kasus yang sedang ditangani KPK.

“Alasan pemeriksa BPK bahwa, kewajiban menghitung ada tidaknya kerugian keuangan negara dengan syarat jika pemeriksaan telah menetapkan status tersangka tipikor adalah keliru dengan dua alasan, pertama bagaimana penetapan status tersangka harus dikeluarkan lebih dulu jika syarat pemenuhan unsur tipikor eks Pasal 2 dan Pasal 3 belum dipenuhi sedangkan unsur kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur penting yang harus ada di dalam Pasal 2 dan Pasal 3,” tegas Profesor Romli.

Alasan kedua, dalam UU BPK maupun UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan negara, tidak ada keharusan bawah kewajiban penghitungan ada tidaknya kerugian keuangan negara, diperlukan status tersangka dari pihak Penyidik, dan cara tersebut jelas melanggar UU BPK, UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan negara dan UU KPK serta KUHAP.

“Tugas BPK dalam hubungan perkara Formula E hanya menghitung ada tidaknya kerugian negara dalam penyelenggaraan formula E; tidak dibenarkan pula terjadinya kolaborasi antara pemeriksa BPK dan pihak auditor sehingga proses pemeriksaan lanjut KPK menjadi terhambat. Hambatan terhadap proses penyelidikan dan penyidikan KPK oleh BPK dapat diancam pidana karena perbuatan menghalang-halangi proses peradilan pidana atau obstruction of justice, dan kemungkinan ke arah perbuatan tersebut wajib ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian dan KPK,” tandas Profesor Romli.