Jakarta – Menyikapi Kasus asusila yang dilakukan oleh Pria Berinisial HW di jawa barat, Pengurus Wilayah Rabithat Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PW RMI NU) DKI Jakarta menilai HW bukan memimpin pesantren, karena pada nama tempatnya hanya menyebut Boarding School, tidak ada kata “Islamic” atau “Pesantren”, maka dari itu PW RMI DKI Jakarta menilai sebagai Pseudo Pesantren.

Pseudo Pesantren Kata pseudo berasal dari kata Bahasa Yunani, pseudes, artinya berbohong atau salah. Kata pseudo digunakan untuk menandai sesuatu yang secara dangkal tampak dan atau berperilaku seperti hal lain, namun bukan hal lain itu. Secara istilah pseudo berarti berarti kebetulan, tiruan, penipuan yang disengaja, atau kombinasi dari semua itu. Maka, pseudo pesantren saya artikan dengan pesantren palsu.

Terhadap pseudo pesantren atau pesantren palsu inilah masyarakat harus waspada, harus jeli dan tahu ciri-cirinya yang membedakan dengan pesantren yang sebenarnya sehingga tidak memasukkan anaknya, saudaranya atau orang lain ke pseudo pesantren atau pesantern palsu ini; dan pihak-pihak terkait, seperti BNPT dan Kementerian Agama, bisa menindaknya dengan tidak memberikan izin operasional atau jika sudah terlanjur memberikan izin, izinnya dicabut; memberikan sanksi; dan lain-lain.

KH. Rakhmad Zailani Kiki menjelaskan Pseudo pesantren juga memiliki ciri tertutup dari lingkungan masyarakat sekitar, masyarakat pribumi dan atau tidak mentaati peraturan pemerintah, mengharamkan hormat bendera, mengharamkan menyanyikan lagu Indonesia dan dalam ceramah-ceramahnya kepada para santri bermuatan anti Pancasila (Pancasila thoghut) dan anti pemerintah (pemerintah thogut, pemerintah dzolim)

“Pseudo pesantren atau pesantren palsu yang saya maksud bukan hanya seperti lembaga pendidikan milik Si Predator HW yang di papan namanya tertulis boarding school tetapi juga lembaga pendidikan mana saja yang mencantum nama pesantren atau pondok pesantren di dalam akte yayasannya atau papan namanya, namun dalam konsep dan praktiknya bukan pesantren yang sebenarnya” tuturnya

KH. Rakhmad Zailani Kiki menjelaskan ciri-ciri pesantren yang sebenarnya menurutnya yang tidak dimiliki oleh pseudo pesantren atau pesantren palsu, dan ciri lainnya Pengajar Pria tidak diperkenankan melihat langsung Santriwati, begitu juga sebaliknya.

“Ciri-ciri pesantren yang sebenarnya menurut saya tidak dimiliki oleh pseudo pesantren atau pesantren palsu, dan ciri lainnya yang tidak kalah penting yang tidak dimiliki pseudo pesantren adalah di pesantren sebenarnya santri perempuan atau santriwati diajarkan atau ada yang diasuh khusus oleh ustadzah atau bu nyai. Jika ada ustadz atau kyai yang mengajar maka adabnya sangat dijaga, seperti memakai tabir atau tirai sehingga ustaz atau kyai tidak dapat menatap langsung santriwati-santriwatinya dan cara lainnya dan yang jelas ustadz atau kyai tidak tinggal bersama santriwati-santriwati putrinya dalam satu rumah seperti Predator HW.” pungkasnya.